Keselamatan warga di sepanjang Sumatera terancam. Di pulau ini alat deteksi tsunami hanya ada enam. Padahal alat ini harus dipasang tiap 100 kilometer.
Tsunami yang melanda Mentawai, Sumatera Barat awal pekan ini telah memberi pelajaran bahwa sistem peringatan dini tsunami Indonesia tak layak. Akibat jeleknya sistem peringatan itu, ratusan jiwa melayang sia-sia. Padahal bencana tsunami serupa kemungkinan akan terus melanda Indonesia.
Geolog Senior Indonesia Awang Harun Satyana menyayangkan kondisi rumit di Indonesia. Alat deteksi tsunami belum tersebar rata di mana-mana. Padahal daerah ancaman tsunami di Indonesia mulai dari pantai barat Sumatra paling ujung sampai selatan.
Selain itu sepanjang selatan Jawa sampai daerah Pulau Rote serta sepanjang pantai Papua, Halmahera dan Sulawesi juga tidak ada deteksi tsunaminya.
"Seharusnya peralatan seperti itu ditempatkan di lautan, jadi bisa mengukur dan mengetahui, gelombang ini anomali bukan karena angin tapi dibangkitkan dari bawah. Kalau terintegrasi seperti itu, akan mengirimkan sinyal ke tempat monitoring dan ahli gempa mengetahui," katanya.
Awang mengatakan ada peralatan yang tidak jalan ada yang jalan tapi rusak, macet dan masalah lain. "Jadi penting sekali kita memiliki alat-alat seperti ini. Di Indonesia belum banyak, yang saya tahu dulu BPPT sempat memasang beberapa di Sumatera dan setahu saya tak lebih dari 5 dan itu kurang sekali," katanya.
Awang mengatakan sepanjang pantai barat Sumatra dan Jawa terutama Sumatra harusnya dipasang lebih banyak alat. Untuk menempatkannya sebenarnya gampang, tinggal melihat gempa yang lalu-lalu di mana.
"Bagusnya kalau mau serius setiap jarak reguler 100 km itu dipasang. Jadi jangan hanya ditempatkan di satu titik saja. Kita kan nggak bisa menduga-duga di mana gempa akan terjadi," katanya.
Yang bagus Indonesia dipagari dengan sistem deteksi tsunami. Jadi jika ada gelombang besar, pendeteksiannya menjadi cepat. "Bisa saja kita nempatin alatnya di Lhokseumawe, tapi ternyata gempa terjadi di Mentawai, nah kelewat kan? Kalau kita pasang secara reguler per 100 km, di manapun bisa dideteksi," jelasnya.
Project Manager Tsunami Buoy Joko Hartodjo mengatakan di Sumatra hanya ada 6 alat pendeteksi tsunami. Posisinya ada di selatan Aceh, Bengkulu, Enggano sampai selatan selat Sunda.
Harga seismo meter berada dalam kisaran ratusan juta rupiah. Namun alat ini butuh banyak untuk bisa membuat network. "Kalau cuma satu data yang didapat, hanya sebatas jarak saja. Kalau network banyak maka bisa dihitung letak episentrumnya di mana," katanya.
Sementara bagian tsunami buoy hanya ada dua bagian. Harga satu sistem bisa mencapai Rp4 miliar untuk yang buatan lokal. Namun jika beli dari luar negeri harganya bisa mencapai Rp6,5 miliar.
Di Indonesia ada buoy bantuan Jerman. Selain itu ada buoy buatan Amerika dan buoy buatan Norwegia yang bekerja sama dengan Malaysia. "Jadi buoy yang ada di Indonesia itu ada 4 sistem, dari Amerika, Jerman, Norwegia dan lokal," katanya.
Joko mengatakan jumlah seismo meter yang ada di Sumatra, jika dibilang cukup bisa cukup. Tapi untuk mendapat data yang lebih bagus, maka network harus ditambah. Sementara buoy, sedang diusahakan setiap 200 km harus ada. Tapi idealnya setiap 100 km.
"Memang ideal ada buoy setiap 100 km, tapi tegantung juga dengan pendanaan. Semakin banyak seismo dan buoy akan menjadi lebih banyak pilihan, artinya untuk pendeteksian akan jauh lebih baik lagi. Kendala mendasar yang ada adalah duit. Kalau mungkin APBN bisa memberikan dana yang ideal," imbuh Joko. (inilah.com)
Tsunami yang melanda Mentawai, Sumatera Barat awal pekan ini telah memberi pelajaran bahwa sistem peringatan dini tsunami Indonesia tak layak. Akibat jeleknya sistem peringatan itu, ratusan jiwa melayang sia-sia. Padahal bencana tsunami serupa kemungkinan akan terus melanda Indonesia.
Geolog Senior Indonesia Awang Harun Satyana menyayangkan kondisi rumit di Indonesia. Alat deteksi tsunami belum tersebar rata di mana-mana. Padahal daerah ancaman tsunami di Indonesia mulai dari pantai barat Sumatra paling ujung sampai selatan.
Selain itu sepanjang selatan Jawa sampai daerah Pulau Rote serta sepanjang pantai Papua, Halmahera dan Sulawesi juga tidak ada deteksi tsunaminya.
"Seharusnya peralatan seperti itu ditempatkan di lautan, jadi bisa mengukur dan mengetahui, gelombang ini anomali bukan karena angin tapi dibangkitkan dari bawah. Kalau terintegrasi seperti itu, akan mengirimkan sinyal ke tempat monitoring dan ahli gempa mengetahui," katanya.
Awang mengatakan ada peralatan yang tidak jalan ada yang jalan tapi rusak, macet dan masalah lain. "Jadi penting sekali kita memiliki alat-alat seperti ini. Di Indonesia belum banyak, yang saya tahu dulu BPPT sempat memasang beberapa di Sumatera dan setahu saya tak lebih dari 5 dan itu kurang sekali," katanya.
Awang mengatakan sepanjang pantai barat Sumatra dan Jawa terutama Sumatra harusnya dipasang lebih banyak alat. Untuk menempatkannya sebenarnya gampang, tinggal melihat gempa yang lalu-lalu di mana.
"Bagusnya kalau mau serius setiap jarak reguler 100 km itu dipasang. Jadi jangan hanya ditempatkan di satu titik saja. Kita kan nggak bisa menduga-duga di mana gempa akan terjadi," katanya.
Yang bagus Indonesia dipagari dengan sistem deteksi tsunami. Jadi jika ada gelombang besar, pendeteksiannya menjadi cepat. "Bisa saja kita nempatin alatnya di Lhokseumawe, tapi ternyata gempa terjadi di Mentawai, nah kelewat kan? Kalau kita pasang secara reguler per 100 km, di manapun bisa dideteksi," jelasnya.
Project Manager Tsunami Buoy Joko Hartodjo mengatakan di Sumatra hanya ada 6 alat pendeteksi tsunami. Posisinya ada di selatan Aceh, Bengkulu, Enggano sampai selatan selat Sunda.
Harga seismo meter berada dalam kisaran ratusan juta rupiah. Namun alat ini butuh banyak untuk bisa membuat network. "Kalau cuma satu data yang didapat, hanya sebatas jarak saja. Kalau network banyak maka bisa dihitung letak episentrumnya di mana," katanya.
Sementara bagian tsunami buoy hanya ada dua bagian. Harga satu sistem bisa mencapai Rp4 miliar untuk yang buatan lokal. Namun jika beli dari luar negeri harganya bisa mencapai Rp6,5 miliar.
Di Indonesia ada buoy bantuan Jerman. Selain itu ada buoy buatan Amerika dan buoy buatan Norwegia yang bekerja sama dengan Malaysia. "Jadi buoy yang ada di Indonesia itu ada 4 sistem, dari Amerika, Jerman, Norwegia dan lokal," katanya.
Joko mengatakan jumlah seismo meter yang ada di Sumatra, jika dibilang cukup bisa cukup. Tapi untuk mendapat data yang lebih bagus, maka network harus ditambah. Sementara buoy, sedang diusahakan setiap 200 km harus ada. Tapi idealnya setiap 100 km.
"Memang ideal ada buoy setiap 100 km, tapi tegantung juga dengan pendanaan. Semakin banyak seismo dan buoy akan menjadi lebih banyak pilihan, artinya untuk pendeteksian akan jauh lebih baik lagi. Kendala mendasar yang ada adalah duit. Kalau mungkin APBN bisa memberikan dana yang ideal," imbuh Joko. (inilah.com)