Tempe adalah salah satu makanan yang terbuat dari kedelai yang merupakan hasil kreasi bangsa sendiri. Di masa lalu Tempe sudah dikenal, di Jaman Majapahit Tempe sudah diyakini ada, penyebutan tempe sebagai makanan secara terang-terangan disebutkan dalam serat Centhini, jae santen tempe ( jenis masakan tempe yang dicampur santan) dan kadhele tempe srundengan. Serat centhini ditulis sekitar tahun 1805 dengan sponsor Pakubuwono V yang mengharapkan kitab ini bisa menjadi semacam ensiklopedi gaya hidup, pandangan spiritual dan tatanan dialektis masyarakat Jawa. Sebagai tambahan catatan walau ini masuk dalam referensi cerita rakyat, soal Tempe Bacem Kotagede yang terkenal sering disandingkan dengan Gudeng Manggar yang merupakan produk kuliner Ki Ageng Mangir Wonoboyo II, musuh politik Panembahan Senopati yang kepalanya dikepruk sang Panembahan setelah menghadap sebagai menantu dengan menikahi Puteri Panembahan yang pandai menari tayub, Pembayun. Dalam gudeng Manggar itu selalu ada tempe bacem Sargede (asal kata Pasar Gede, sebuah pasar di Kotagede), disini kemudian orang Bantul mengenang Gudeg Manggar sebagai satu-satunya bentuk kemenangan atas Panembahan Senopati yang bangsawan dari keturunan luar Hutan Mentaok.
Tempe menjadi makanan yang amat terkenal setelah krisis pangan pasca Perang Diponegoro, saat itu Van Den Bosch menerapkan kerja rodi, seluruh rakyat diharuskan menanam tanam-tanaman perkebunan seperti tebu dan karet, dan ini semakin merusak unsur hara tanah. Di masa ini tempe menjadi semacam makanan wajib. Rakyat yang kelaparan dan kehilangan padi-nya gara-gara harus berebut jam kerja dengan kewajiban rodi, memakan makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang tumbuh seperti : Ubi, Singkong dan Kedelai, nah kedelai ini diolah menjadi tempe, salah satu versi sejarah menyatakan bahwa tempe ditemukan pada era tanam paksa, tahun 1875 dengan meniru makanan Cina yang bernama Koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang.
Tempe menjadi penyelamat bangsa Eropa yang ditawan Jepang, saat itu Jepang masuk ke Indonesia dan mencari orang-orang Belanda untuk dimasukkan ke kamp kerja paksa dan dipenjara. Dalam penjara mereka dikasih makan tempe, ternyata tempe itu yang membuat para interniran londo itu bertahan hidup, sebab-nya tempe memiliki kandungan protein yang amat tinggi.
Menurut artikel Kompas, pada 3 Juli 2003 yang ditulis M. Astawan menyebutkan :
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu,dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.
Tempe merupakan industri-industri yang berkembang amat merakyat, murah harganya dan menjadi ciri khas paling dasar bangsa Indonesia, kebanyakan orang Indonesia memang suka dengan tempe. Saking merakyatnya, masakan ini pernah menjadi sangat inferior dalam kedudukan gengsi sosial bangsa kita, para priyayi bangsawan senengnya makan Beef Steak, yang diucapkannya sebagai Bestik. Sebagai gambaran tempe sebagai makanan rakyat ini terlihat sekali dalam novel Para Priyayikarangan Umar Khayam yang dirilis tahun 1994 tentang Ngadiyem yang tiap pagi ngider menjajakan tempe dan menjadi langganan keluarga Sastrodarsono. Ngadiyem ini kemudian ikut keluarga Sostrodarsono, setelah ikut dengan Sostrodarsono, Ngadiyem diperkosa oleh Soenandar yang juga kemenakan Sastrodarsono, dari Ngadiyem ini kemudian lahirlah Lantip, yang secara alam bawah sadar selalu menekankan ke-minderan-nya sebagai anak pedagang ider Tempe. “Aku tak mau menjadi kecu seperti bapakku atau pedagang ider tempe seperti ibuku”. Novel yang amat menarik ini masih menempatkan tempe sebagai makanan kelas rendahan.
Bung Karno sendiri pernah berteriak di depan ratusan ribu pendengarnya : “Janganlah kita sekali-sekali menjadi bangsa Tempe”. Disini Bung Karno bukan berteriak soal tempe sebagai makanan inferior bangsa kita, tapi sebagai ‘makanan yang diinjak-injak’. Namun bagi bagian banyak orang quotes ini dikenang sebagai ‘Rasa Inferioritas Tentang Tempe sebagai makanan”.
Lambang kemakmuran bangsa Indonesia adalah terhidangnya ayam goreng, semur daging atau ikan-ikan air tawar seperti ikan gurame dan ikan mas. Tempe dianggap sebagai bagian ‘makanan prihatin’. Tapi susah memisahkan Tempe dan juga Tahu ke dalam meja makanan orang Indonesia, kalau makan orang Indonesia itu ada empat hal : Nasi, Tempe, Tahu dan Kerupuk.
Di Jaman Orde Baru, ketersediaan pangan adalah syarat politik paling utama. Suharto bahkan sampai menyiapkan panggung teater ketersediaan pangan dengan aktor utamanya adalah Harmoko, rakyat sampai hapal setiap Rabu Malam di berita khusus TVRI setelah dunia dalam berita jam 9 malam berakhir ia selalu berkata “Atas petunjuk bapak Presiden…harga cabe keriting….bla..bla” sambil rambutnya jingkrak meninju rembulan. Saat itu bangsa Indonesia mengalami masa kepastian pangan luar biasa, jangankan soal tempe, soal cabe, soal beras saja kita berdaulat, walaupun hanya setahun yaitu tahun 1985 saat Pak Harto dengan gagah pidato di Roma, Italia pada sidang pleno FAO. Tapi dibalik kedigdayaan Pak Harto dan Politik Logistiknya dengan Pangan sebagai Panglima, dimasa itu terkenal kisah Tempe Bongkrek, tempe yang terbuat dari ampas kelapa, jenis tempe ini lebih inferior lagi ketimbang tempe biasa.
Kini Kedelai menghilang di pasaran, Tempe menjadi barang langka dan harganya naik terus seperti popularitas Jokowi, Pemerintahan Republik ala SBY yang lemahnya menyerupai Republik Weimar ini tergagap soal Tempe, mereka bersidang soal Tempe, soal yang di masa lalu sebagai makanan inferior kini menjadi soal yang sulit bagi Pemerintahan dengan Pencitraan sebagai Panglima. -Maka Tempe sudah menjadi semacam SOB, semacam Staat van Oorlog en Beleg, negara bersiap perang atas kedaulatan Pangan kita. Entahlah mungkin nanti akan ada bibit kedelai Supertoy, kan Presiden kita doktor IPB, Katanya.
sumber