Jumat, 06 April 2012

Biografi Darso The king of pop Sunda

Selama lebih dari 45 tahun, Hendarso setia membawakan alunan musik calung, alat musik dari bambu, yang kemudian dipadukannya dengan dangdut dan pop. Lagu-lagunya berlirik bahasa Sunda. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson. Ditemui di rumahnya di Kampung Cirateun, Lembang, Bandung Barat, Darso, panggilannya, bercerita mengenai albumnya yang sudah sekitar 300 judul. Albumnya itu ada yang direkam di studio, ada pula yang direkam sewaktu dia bernyanyi di panggung.

Oleh Cornelius Helmy
Selama lebih dari 45 tahun, Hendarso setia membawakan alunan musik calung, alat musik dari bambu, yang kemudian dipadukannya dengan dangdut dan pop. Lagu-lagunya berlirik bahasa Sunda. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson.

Ditemui di rumahnya di Kampung Cirateun, Lembang, Bandung Barat, Darso, panggilannya, bercerita mengenai albumnya yang sudah sekitar 300 judul. Albumnya itu ada yang direkam di studio, ada pula yang direkam sewaktu dia bernyanyi di panggung.

”Katanya, semuanya (album Darso) laku. Saya tak tahu persis karena tidak terlalu peduli hal itu,” ujar Darso, yang saat itu baru pulang setelah tampil di daerah Banjaran, Kabupaten Bandung.

Meski usianya tak lagi muda, Darso bisa dikatakan tak pernah menolak permintaan untuk pentas. Dia menganggap permintaan masyarakat itu sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak. Sampai sekarang pun dia masih laris ditanggap di berbagai daerah di wilayah Jawa Barat, antara empat dan lima kali dalam seminggu.

Untuk memenuhi permintaan naik panggung itu, Darso mengaku lelah secara fisik. Tetapi, rasa lelah itu seakan hilang ketika dia melihat penonton senang dengan aksi panggungnya yang bak ”cacing kepanasan”.

Rasa puas dan senang itu pula yang membuat Darso rela tidak dibayar jika permintaan naik panggung itu datang dari orang tak mampu. Asal jujur, ia tak menargetkan bayaran. Ia pernah manggung di rumah seorang penjual es di Kabupaten Bandung.

”Bagi saya, doa orang banyak itu lebih berharga ketimbang uang berlimpah. Rame tah imah maranehna gara-gara urang datang,” ujarnya.

tak jarang kebaikan Darso disalahgunakan. Dia pernah ditipu pengundang yang mengaku tidak mampu, tetapi belakangan diketahui ternyata anggota DPRD. ”Saya tidak marah, tetapi sangat malu kepada teman satu grup,” ucapnya.

Pemain bas
Kiprah Darso dimulai pada tahun 1962 sebagai pemain bas grup Nada Karya dan Nada Kencana. Ia sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Namun, kariernya di dunia pop terhenti. Ia terkena imbas peristiwa G30S/PKI.

Tahun 1968, saat suasana politik membaik, ia kembali tampil dengan rasa berbeda. Kali ini ia bersama sang kakak, Uko Hendarso. Alat musik calung digunakan sebagai instrumen utama. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu sambil menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Salah satu lagu yang diminati warga kala itu adalah ”Kiamat”.

”Dulu, tak ada yang menggunakan calung sebagai pengiring lagu. Calung hanya didengarkan bunyinya, tanpa lagu,” ujarnya.

Tampilan musik calung Darso bersama grup Calung Uko Hendarto menarik minat pemerhati musik S Hidayat. Dia lalu membawa Darso tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Bersama grup Baskara Saba Desa, suara Darso didengar banyak orang.

”Di RRI saya mulai rekaman yang pertama. Judulnya Volume 1 bersama grup Layung Sari iringan Ali Wijaya. Lagunya karya Koko Koswara dan Uko Hendarto,” ujarnya.

Sampai tahun 1978, ia punya grup sendiri, Calung Darso. Di bawah bendera Asmara Record, ia merekam suara di atas pita kaset. Saking tenarnya, Darso bisa merekam musik calung dalam empat-lima kaset per tahun. Lirik lagunya bertema keseharian, kritik sosial, dan tembang cinta. Beberapa yang populer ”Kembang Tanjung”, ”Cangkurileung”, dan ”Panineungan”.

Masuk periode tahun 1990 namanya semakin berkibar setelah TVRI pun menampilkannya. Darso lalu menyertakan instrumen baru, seperti organ, terompet, dan dangdut. Tujuannya menyenangkan hati penonton.

Karyanya kemudian menjadi ”lagu wajib” pop Sunda. Lagu seperti ”Randa Geulis”, ”Maribaya”, ”Amparan Sajadah”, dan ”Kabogoh Jauh” sering dilantunkan penyanyi masa kini.

”Saya tak mengubah musik calung, tetapi menyesuaikan dengan keinginan masyarakat tanpa menghilangkan unsur tradisional. Masyarakat senang, kesenian tradisi terjaga,” ucapnya.
Perhatian pemerintah

Di panggung, Darso tampil beda, seperti memakai setelan jas. Bila mengikuti pakem, pagelaran calung harus menggunakan baju pangsi dan celana kampret. Namun, ia tak peduli. Dia tak pernah mengubah penampilannya.

Ia bahkan pernah memadupadankan baju dan celana hitam yang dilukis tokoh kartun Mickey Mouse dengan sarung. Pada kesempatan lain, ia tampil percaya diri dengan jas bermotif tribal dan membuka panggung sambil menunggang kuda.

Penampilan fenomenalnya adalah saat dia muncul mirip Michael Jackson dengan rambut gondrong, kacamata hitam, dan bertopi. Ia juga kerap menjulurkan lidah kala menyanyi. Banyak orang berpendapat, gaya Darso itu ”kampungan”. Tetapi, gaya itulah yang mengangkat namanya.

”Ah teuing mah. Eta mah barudak nu ngomong. Urang ngarasa ngeunah we siga kitu mah (Ah tak tahu. Itu penonton yang bilang. Saya hanya merasa nyaman dandan seperti itu),” ujarnya.

Meski namanya relatif populer di kalangan masyarakat Jabar, Darso tak mau berubah. Ia ingin selalu dekat dengan masyarakat. Itu dibuktikan saat dia membantu menjajakan buah di Pasar Baru hingga membantu penjaja jagung di kawasan Pasteur.

Darso tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.

”Nyawa aing siganamah tereh beak lamun difotoan wae. Tapi sakali deu urang mah resep mun ningali nu lain senang (Nyawa saya cepat habis kalau difoto terus.... Tetapi, sekali lagi, saya ikut bahagia kalau melihat orang lain senang),” ujarnya.

Di balik gaya yang nyeleneh, Darso tetap menyimpan harapan. Salah satunya, ia prihatin dengan perhatian pemerintah terhadap musik tradisional. Pemerintah hanya bicara soal melestarikan kesenian daerah, tetapi tak banyak hal yang dilakukan untuk mewujudkannya.


Darso juga berharap seniman calung atau pop Sunda yang berusia muda tak berhenti hanya meniru gayanya. Sebaiknya mereka juga bisa menemukan jati diri dan mensyukuri apa yang telah didapatkan. Dia tetap percaya, bila kita melakukan pekerjaan itu dengan hati, termasuk menyanyi, pasti akan menuai sukses.

”Kata orang, suara saya bagus dan harus ditiru. Tetapi, semua ini bukan milik saya, melainkan milik Tuhan. Kalau mau, mungkin sekarang suara ini bisa dibuat-Nya rusak,” kata Darso mengingatkan.
◄ Newer Post Older Post ►