Nama aslinya Haji Koko Koswara (lahir di Indihyang, Tasikmalaya, 10 April 1917 dan wafat 4 Oktober 1985). Mang Koko adalah putra tunggal dari pasangan Siti Hasanah dan Muhammad Ibrahim Sumarta, yang bergaris keturunan Sultan Banten/Sultan Hasanuddin. Namanya begitu wangi, semerbak di Indihyang dan mengaharumkan nama Bandung. Pada bulan Februari 2004, Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya pun menggelar sebuah acara pangéling-éling atas jasa Mang Koko, dengan tajuk “Nguniang ti Indihiang, Padungdung Nanjung di Bandung”. Dari acara tersebut, jelas bahwa Mang Koko menjadi kebanggaan masyarakat Tasikmalaya, sebagai kota kelahirannya dan tempat mengawali penitian karirnya yang gemilang.
Ekspresi dari penghargaan warga Tasikmalaya terhadap Mang Koko, dibuktikan dengan dibuatnya Jalan Mang Koko, yang diresmikan pada 17 Oktober 2005. Mang Koko juga sangat mencintai Indihiyang dan Kota Bandung. Kawih sanggiannya yang berjudul “Bandung”, merupakan salahsatu bukti kecintaan dan perhatiannya terhadap kota Bandung.
Mang Koko memulai kariernya dalam musik dengan mendirikan Kanca Indihiang pada tahun 1946. Lagu Kanca Indihiang yang populer di antaranya “Badminton”, “Maén Bal”, “Buruh Leutik”, “Jaman Atum”, dsb. Mang Koko adalah seniman yang selalu menatap jauh ke depan, sehingga baginya re-generasi merupakan garapan yang sangat penting. Sadar akan hal itu, Mang mendirikan perkumpulan-perkumpulan kesenian yang untuk membina anak-anak sampai dewasa dalam berkiprah di dunia karawitan. Sebut saja “Taman Murangkalih”, “Taman Cangkurileung”, “Taman Setiaputra”, “Ganda Mekar”, “Gamelan Mundinglaya”, dan “Taman Bincarung”. Idenya mendirikan organisasi kesenian, ditandai pula oleh terbitnya buku karya Mang Koko, seperti Taman Cangkurileung sebanyak tiga jilid (1954), Ganda Mekar (1956), Taman Bincarung (1958), dsb.
Sebagai seorang organisator, selanjutnya Mang Koko dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Cangkurileung pada 6 Maret 1959 yang berpusat di Bandung. Sedangkan cabang-cabangnya menyebar di hampir seluruh Jawa Barat. Kegiatannya sistematis dan kostinten, seperti mengisi acara kawih di RRI Bandung setiap hari Minggu, mengadakan kursus karawitan untuk para guru, menerbitkan Majalah Swara Cangkurileung (1974-sekarang), dsb. Sampai sekarang, kegiatan Yayasan Cangkurileung masih berlangsung, diteruskan oleh dua dari delapan orang putranya, yaitu Tatang Benyamin Koswara dan Ida Rosida.
Mang Koko juga merupakan afresiator sastra Sunda yang sangat peka. Ia melahirkan banyak sanggian kawih yang rumpakanya berasal dari sajak-sajak karya para sastrawan. Mang Koko bekerja keras dan sangat teliti dalam memahami atau menghayati sajak yang akan digubahnya mejadi kawih. Terkadang Mang Koko menanyakan langsung kepada penulisnya, baik mengenai bahasa maupun muatan isinya. Mulai dari kawih “Talatah” (karya Siti Armilah atau SAR), “Bulan Dagoan” (karya R Ading Affandie atau RAF), dan “Samoja” (karya Wahyu Wibisana). Tiga kawih tersebut lahir pada dekade 50-an.
Selanjutnya Mang Koko semakin banyak nyanggi kawih dari sajak-sajak karya sastrawan lainnya, seperti “Di Langit Bandung Bulan keur Mayung” karya Dedy Windyagiri, “Bulan Bandung Panineungan” karya Wahyu Wibisana, “Kudu ka Saha” karya Winarya Artadianta, “Purnama” karya Agus Sur, “Wengi Énjing Tepang Deui” karya Tatang Sastrawiria, dsb.
Mang Koko adalah lulusan Mulo Pasundan (1937). Ia pernah bekerja di Bale Pamulang Pasundan, Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Propinsi Jabar, guru di Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung (Sekarang SMKN 10 Bandung) pada tahun 1961, yang kemudian menjadi Direktur KOKAR Bandung (1966 1972), dan juga pernah menjadi dosen luar biasa di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Bandung (Sekarang STSI Bandung).
Mang Koko juga dikenal sebagai sosok yang nyantri. Dulu, waktu masih tinggal di jalan Jurang, Mang Koko hampir setiap Subuh mengumandangkan adzan. Suaranya melengking merdu, membangunkan orang-orang di sekitarnya. Mang Koko bisa mengumandangkan adzan dengan sorog, pélog atau madenda. Kabarnya, jika mendengar adzan Mang Koko, orang yang tidak berniat sholat di Masjid pun segera bergegas menuju masjid. Mirip dengan kisah Bilal bin Rabbah, sahabat Rosululloh SAW, yang memiliki suara melengking merdu setiap beliau mengumandangkan adzan.
Berdasar prestasinya yang gemilang, Mang Koko pun pernah menerima berbagai piagam penghargaan dari pemerintah, lembaga dan organisasi, termasuk piala tertinggi dari pemerintah pusat/ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, dalam katagori pembaharu bidang seni karawitan. Pada tahun 2004, Yayasan Cangkurileung juga menerima Hadiah Sastra Rancagé 2004 (untuk bidang jasa), dan menerima Anugrah Jabar Music Award 2005 dari Sekolah Tinggi Musik Bandung dan Disbudpar Jabar, untuk kategori seniman musik yang sudah wafat.
1. Angin Burit (Winarya Artadinata)
2. Angin Priangan (Wahyu Wibisana)
3. Asih Abadi (Dédi Windiagiri)
4. Bulan Bandung Panineungan (Wahyu Wibisana)
5. Bulan Langlayangan Peuting (Wahyu Wibisana)
6. Bungur Mumunggang (Wahyu Wibisana)
7. Di Langit Bandung Bulan keur Mayung (Dédi Windiagiri)
8. Girimis Kasorénakeun (Dédi Windiagiri)
9. Hareupeun Kaca (Winarya Artadinata)
10. Hariring Nu Kungsi Nyanding (Winarya Artadinata)
11. Hirup (Nano S)
12. Imut Malati (Wahyu Wibisana)
13. Jalir Jangji (SAR)
14. Kalangkang di Cikamiri (Wahyu Wibisana)
15. Karatagan Pahlawan (Mang Koko)
16. Kasenian (Mang Koko)
17. Kembang Balébat (Wahyu Wibisana)
18. Kembang Impian (Dédi Windiagiri)
19. Kembang Tanjung Panineungan (Wahyu Wibisana)
20. Kudu ka Saha (Winarta Artadinata)
21. Lalaki Padjadjaran (Mang Koko)
22. Longkéwang (Dédi Windiagiri)
23. Malati di Gunung Guntur (Wahyu Wibisana)
24. Peuting jeung Pangharepan (RAF)
25. Purnama (Agus Sur)
26. Rayagung ka Balé Nyungcung (Dédi Windiagiri)
27. Reumis Beureum (Wahyu Wibisana)
28. Sagagang kembang Ros (Winarya Artadinata)
29. Salempay Sutra (Winarya Artadinata)
30. Sariak Layung (Dédi Windiagiri)
31. Sulaya Janji (Winarya Artadinata)
32. Tanjung (Wahyu Wibisana)
33. Tina Jandéla (Dédi Windiagiri)
34. Wengi Énjing Tepang Deui (Tatang Sastrawiria)
1. “Resep Mamaos” (Ganaco, 1948),
2. “Cangkurileung” (3 jilid/MB, 1952),
3. “Ganda Mekar” (Tarate, 1970),
4. “Bincarung” (Tarate, 1970),
5. “Pangajaran Kacapi” (Balebat, 1973),
6. “Seni Swara Sunda/Pupuh 17″ (Mitra Buana, 1984),
7. “Sekar Mayang” (Mitra Buana, 1984),
8. “Layeutan Swara” (YCP, 1984),
9. “Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan”; dan sebagainya.
1. “Gondang Pangwangunan”,
2. “Bapa Satar”,
3. “Aduh Asih”,
4. “Samudra”,
5. “Gondang Samagaha”,
6. “Berekat Katitih Mahal”,
7. “Sekar Catur”,
8. “Sempal Guyon”,
9. “Saha?”,
10. “Ngatrok”,
11. “Kareta Api”,
12. “Istri Tampikan”,
13. “Si Kabayan”,
14. “Si Kabayan jeung Raja Jimbul”,
15. “Aki-Nini Balangantrang”,
16. “Pangeran Jayakarta”,
17. “Nyai Dasimah”.