Jumat, 06 April 2012

Biografi Harry Roesli

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Harry Roesli, Sosok seorang Profesor psikologi musik ini sudah jelas bukan sosok musisi yang biasa biasa saja. Beliau memang seorang musisi yang sangat fenomenal, beliau lah yang melahirkan budaya musik kontemporer yang sangat unik dan berbeda. Seorang Doktor musik yang memiliki nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini memang dikenal selalu menghasilkan karya-karya yang sanat komunikatif dan juga konsisten menyampaikan pesan pesan kritik sosial dengan sangat lugas juga dibalut dengan kesenian teater dan sangat kreatif dalam penyajian setiap karyanya.Kang Harry , sapaan akrab bagi beliau. Memiliki cirri khas dalam berpenampilan , berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan selalu berpakaian serba hitam. Beliau adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Yang dilahirkan di Bandung, 10 September 1951, ayahnya bernama Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Dan beliau merupakan cucu dari seorang pujanngga besar Marah Roesli. Beliau memiliki seorang Istri bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembar yang bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.
Beliau meninggal dunia dalam usia 53 tahun setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit sejak Jumat 3 Desember 2004. Kang Harry menderita serangan jantung jugafiketahui memeiliki riwayat hipertensi dan diabetes. Jenazah disemayamkan di rumah kakaknya,Ratwini Soemarso, Jl Besuki 10 Menteng, Jakarta Pusat dan kemudian dimakamkan pada tanggal 12 Desember 2004 di pemakaman keluarga di Ciomas, Bogor, Jabar.
Semasa Hidupnya beliau memang sibuk dalam aktivitas seni dan juga aktivitas sosial. Sejak tahun 1970 namanya sudah dikenal bersama kelompok musik nya yang diberi nama Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Namun lima tahun setelah terbentuk kelompok musik itu pun bubar. Disamping sibuk dalam bermain musik beliau juga mendirikan sebuah kelompok teater yang beliau beri nama kelompok teater Ken Arok pada tahun 1973. Bersama kelompok teater Ken Arok nya, beliau sempat melakukan beberapa kali pementasan, salah satunya adalah pertunjukan Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, namun kelompok teater ini pun bubar dikarenakan beliau mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), untukmenimba ilmu ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.

Beliau mendapatkan gelar Doktornya pada tahun 1981. Setelah kembali ke tanah air beliaupun kembali aktif bermusik juga kembali pada dunia teater. Disamping itu beliau juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung. Beliau kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Beliau juga sering tampil menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta turut aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.

Selain itu juga beliau membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya yang bertempat di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini selalu ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan sekaligus berfungsi sebagai tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat dengan kritik kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, beliau pernah mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara “Gelora Reformasi” di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan sebuah lagu yang berjudul Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi),yang dirilis oleh Musica Studio, pada tahun 1978.
◄ Newer Post Older Post ►