Gunung Krakatau pernah meledak dahsyat dan debunya menyebabkan Eropa tanpa musim panas. Lalu apakah Gunung Sinabung yang baru meletus menyebabkan ancaman serupa?
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Dr Armi Susandi menilai jarang terjadi letusan yang besar dan lama di wilayah Sumatra. Apalagi gunung berapi di Sumatra memiliki banyak jalur untuk keluar.
Ia memperkirakan letusan Gunung Sinabung yang tidur selama 400 tahun itu tidak akan berlangsung lama. “Saya tidak memperkirakan itu lama. Paling cuma satu atau satu setengah bulan. Jadi yang lama sekali hingga tiga bulanan itu saya kira tidak ada,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, kemarin.
Armi menambahkan harus dilihat apakah letusan itu sudah maksimum. Dan jika sudah maksimum, maka paling lama satu pekan letusan akan sudah selesai.
Ahli Geologi ITB Andri Slamet Subandrio mengatakan gunung api yang tidak aktif selama ratusan tahun, dan secara tiba-tiba aktif adalah hal biasa. Itu juga terjadi pada Gunung Galunggung, dan Papandayan pada 2002. “Jadi bisa saja terjadi,” katanya.
Ia menambahkan Gunung Sinabung bisa meletus karena ada pasokan magma baru di dalam gunung itu, sehingga volumenya bertambah. Padahal dalam magma terjadi tekanan hebat dan tidak bisa keluar, sehingga begitu ada penimbunan energi tejadi letusan.
Sebagai pemicunya adalah dalam gunung api terjadi penumpukan energi karena pasokan magma dari dalam bumi. Saat gunung akan meletus, biasanya juga akan dimulai dengan gempa-gempa kecil.
Armi lebih lanjut menjelaskan Gunung Sinabung adalah bagian dari Bukit Barisan yang muncul karena tumbukan lempeng. Tumbukan itu menimbulkan patahan, sehingga magma keluar dan membentuk Gunung Sinabung.
Ia menambahkan letusan bisa terjadi akibat aktifitas di bawah yang terpacu berbagai gempa akhir-akhir ini. “Gempa disebabkan pergerakan lempeng yang membujur dari Sumatra sampai ke Jawa. Karena aktivitas pergerakan lempeng itu menyebabkan perubahan aktifitas magma di bawah Sumatra,” imbuhnya.
Menurut Armi gunung yang tadinya mati bisa aktif lagi karena dulunya terdapat jalur magma. Akibat gangguan-gangguan seperti gempa, sehingga memicu jadi aktif lagi.
“Sudah banyak contohnya. Selain gempa, faktornya tidak ada, karena sifatnya dalam, jadi benar-benar murni karena gempa, tidak ada urusan dengan manusia atau lainnya,” tegasnya.
Mengenai perlunya penerbangan dihentikan, ia menilai letusan gunung api menyebabkan masalah dalam pendaratan pesawat. Hal itu karena gunung meletus mengeluarkan partikel debu yang mengganggu jarak pandangan.
“Selagi jarak pandang masih bisa 1-2 km saya rasa bisa terbang dengan mencari tempat yang lebih tinggi lagi agar jarak pandang lebih luas. Kemungkinan lain di wilayah itu akan terjadi pendinginan karena sinar matahari terhalang debu dan ini akan berlangsung dalam beberapa waktu sampai terus kembali normal lagi,” katanya.
Sementara Andri Slamet mengatakan, tertanggu atau tidaknya aktivitas penerbangan tergantung seberapa jauh semburannya. Jika semburannya mencapai stratosfir bisa mengganggu sekali. Ia menyarankan penerbangan ke arah meletusnya gunung berapi perlu dihindari.(INILAH.COM)