Senin, 10 Mei 2010

Bahaya Terselubung dari Mundurnya SMI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Paruh kedua pekan lalu pasar keuangan Indonesia tertekan. Setelah muncul berita pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, nilai tukar rupiah turun hampir Rp 300 atau sekitar 3 persen terhadap dollar AS. Kemerosotan lebih tajam terjadi di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan melorot 7,4 persen. Reaksi seketika juga terlihat dari peningkatan imbal hasil obligasi negara.

Pada waktu yang bersamaan, pasar keuangan dunia juga bergejolak. Mendung di Eropa yang dipicu oleh krisis utang Yunani mengempaskan Indeks Dow Jones, yang mengalami kemerosotan mingguan paling tajam sejak Maret 2009.

Kita yakin reformasi telah membuat pelaku pasar domestik kian matang. Pasar tak bereaksi berlebihan. Kita telah cukup berhasil melalui masa-masa sulit. Yang kita harus lebih peduli adalah bagaimana mempercepat penguatan landasan untuk lebih kokoh lagi menghadapi gejolak, meredam guncangan eksternal, dan mendorong reformasi yang lebih terstruktur dan menyeluruh.

Jika tidak, negara-negara tetangga yang sudah lebih maju akan kian meninggalkan kita, sedangkan negara-negara tetangga yang masih tertinggal akan segera menyalip kita. Lebih baik saja tak cukup!

Di sinilah peran Sri Mulyani sangat menonjol. Yang paling mencolok adalah determinasinya dalam memutuskan saat masa-masa genting, konsistensinya mengawal reformasi birokrasi di kementerian vital yang sarat dengan praktik-praktik kotor, serta keteguhan hatinya mengatakan tidak pada kekuatan-kekuatan yang kerap merongrong.

Pengakuan internasional terhadap sosok Sri Mulyani sangat tinggi, hampir tanpa cela. Tengok saja pemberitaan media massa asing minggu kemarin. The Wall Sreet Journal menjulukinya "Top Reformer" dan "Respected Finance Minister", Financial Times menyebutnya "Reform Champion".

International Herald Tribune menilai kepergian Sri Mulyani ke Bank Dunia dengan kalimat: "..could be a major setback for a crackdown on graft and tax evasion in Indonesian country, which has the biggest economy of Southeast Asia."

Dua koran Singapura menurunkan berita yang senada. Bahkan, The Straits Times memuat artikel dengan judul agak provokatif: "Sri Mulyani: World's gain, Jakarta's loss".

Boleh jadi posisi sebagai salah satu dari tiga Direktur Pelaksana Bank Dunia cukup prestisius dan sekaligus penghargaan ataupun kepercayaan kepada pribadi Sri Mulyani dan Indonesia. Namun, sejauh pengenalan penulis atas sosok Sri Mulyani, mengemban tugas negara di negeri sendiri merupakan pilihan pertama baginya.

Bukan merupakan kelaziman kalau pejabat aktif setingkat menteri menyeberang ke lembaga internasional. Yang lazim, justru sebaliknya. Bagaimanapun, bagi seorang nasionalis sejati, seperti juga Sri Mulyani, mengabdi kepada negara adalah yang utama. Setelah teruji sukses di negaranya, barulah setelah pensiun ditarik ke lembaga-lembaga internasional untuk berbagi maslahat dengan komunitas dunia.

Oleh karena itu, terasa kontradiktif dan ganjil membaca penggalan berita utama Kompas (6 Mei 2010) berikut: "Meski menilai Sri Mulyani salah satu menteri terbaik dalam kabinet yang ia pimpin, Presiden Yudhoyono mengizinkan pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Presiden berharap di posisi barunya Sri Mulyani dapat memperkuat hubungan Bank Dunia dengan negara-negara berkembang".

Jika Presiden yakin bahwa Sri Mulyani adalah aset berharga bagi bangsa, mengapa Presiden tidak menolak seketika permohonan pengunduran diri Sri Mulyani. Kalaupun ditolak, kita agaknya yakin Sri Mulyani tak akan "mutung". Justru ia bangga dan semakin teguh melanjutkan pengabdian karena beroleh penguatan komitmen dukungan dari atasannya.

Namun, kalau pertimbangan politik yang dominan, benar adanya ucapan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang mengakui bahwa mundurnya Menkeu bisa menjadi faktor penyejuk politik nasional (Kompas, 6 Mei 2010).

Mengabulkan permohonan mundur Sri Mulyani bisa pula merupakan sinyal kurang teguhnya pemimpin tertinggi menghadapi tekanan politik kelompok-kelompok kepentingan yang terganggu kekuatan reformis dan gelombang keniscayaan perubahan. Mereka yang terancam dari comfort zone.

Memang, kita tak memiliki kemewahan untuk menarik garis pemisah yang tegas antara masa otoritarianisme Orde Baru dan masa Reformasi. Akibatnya, kekuatan-kekuatan lama dengan mudah menyusup terang-terangan ke relung-relung kekuasaan. Mereka dengan cepat mengonsolidasikan diri, menghimpun kembali kekuatan. Bahkan, kekuatan mereka sekarang telah berlipat ganda.

Tumpukan utang berganti dengan limpahan kekayaan yang dihimpun dari praktik dwifungsi bentuk baru: penguasa-pengusaha, yang tak lagi berjarak. Dwifungsi yang lebih "bengis" daripada dwifungsi ABRI. (kompas.com)
◄ Newer Post Older Post ►