1. Tarzan, 1999
Tarzan menjelang milenium baru versi Disney tidak hanya bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain, maupun berteriak kencang memanggil binatang-binatang lain. Ia lebih sering bergerak lincah bak pohon adalah papan luncur. Buat saya, meski dalam bentuk animasi, Disney mengisahkan legenda Tarzan ke bentuknya paling mendekati aslinya.
Sosok Tarzan yang diasuh kera sejak bayi—karena itu ia sering dijuluki Manusia Kera—membuatnya memiliki bahasa tubuh bak kera. Tarzan, misalnya, jarang terlihat berdiri tegak lurus, lebih sering bergerak tak ubahnya simpanse. Di luar orisinalitas itu, Tarzan versi Disney adalah kisah sempurna tentang pencarian jati diri anak manusia. Apalagi tabahan musik-musik merdu Phil Collins, menjadikan film ini makin menawan.
2. The Little Mermaid, 1989
Selama dua puluh tahun setelah kematian Walt Disney, studio film itu mencapai titik membosankan. Film-film animasinya tak lagi pas disebut klasik. Pena animator Disney sedang tumpul setelah ditinggal penciptanya. Syahdan, ketika Disney ditangani Jeffrey Katzenberg (sekarang bos DreamWorks) Disney bangkit. Film ini menandai kebangkitan kembali Disney.
Studio itu mengali dongeng klasik Barat dan menemukan kisah putri duyung karya Hans Christian Andersen untuk ditafsir ulang, diceritakan kembali bagi penonton generasi sekarang. Hasilnya, Disney menemukan formula klasik yang kemudian jadi pegangannya selama betahun-tahun untuk membuat film animasi: cerita dongeng yang ringan, paduan desain klasik dan kontemporer, serta sajian lagu-lagu pop yang bakal disuka semua usia, tua dan muda.
3. Cinderella, 1950
Salah satu kehebatan film animasi Disney adalah ketika Disney mengangkat cerita dongeng, orang mengira versi Disney adalah versi asli dongeng tersebut. Bahkan, banyak yang mengenal cerita dongeng pertama kali dari versi yang dibuat Disney. Begitu pula yang terjadi pada dongeng Cinderella. Kebanyakan orang tak tahu seperti apa cerita aslinya kecuali yang disajikan Disney.
Kisah anak tiri yang disiksa ibu dan saudara tirinya itu, serta kemudian datang ke pesta dansa bertemu sang pangeran, lalu meninggalkan sepatu kacanya tak lekang dimakan waktu meski sudah ditonton berkali-kali. Lebih dari 60 tahun, Cinderalla versi Disney telah mengisi narasi warga bumi atas kisah klasik itu di setiap generasi. Tak heran, kita kemudian percaya kalau cerita Cinderella ya yang versi Disney. Lainnya hanya adaptasi. Sayang memang, tapi mau bagaimana lagi.
4. The Lion King, 1994
Film animasi ini dianggap menjiplak cerita Kimba The White Lion karya pelopor manga-anime Jepang, Osamu Tezuka. Memang susah untuk tidak menganggapnya demikian. Namun, bukan berarti The Lion King tak berkualitas. The Lion King adalah animasi dengan kualitas layaknya film epik. Kisahnya pun terasa terlalu dewasa untuk ditonton anak-anak. Bahkan ada nuansa tragedi Shakespeare di dalamnya.
Seekor singa pewaris tahta disalahkan atas kematian ayahnya, lalu pamannya yang jahat—otak sesungguhnya yang menyebabkan kematian itu mengambil alih kekuasaan. Sang singa kemudian terusir dan hidup bebas hingga ia harus kembali lagi merebut tahtanya dan menemui takdirnya sebagai penguasa rimba. The Lion King tak hanya berisi tingkah kartun nan lucu maupun lagu-lagu indah, tapi juga tentang kematian dan perebutan tahta.
5. Fantasia, 1940
Walt Disney bukan penemu film animasi. Tapi, ia membawa teknologi sinema ini ke ranah seni yang tak pernah digapai manusia lain sebelumnya. Salah satu pencapaiannya adalah Fantasia. Ide dasar Fantasia sederhana saja: ambil musik-musik klasik yang dikenal orang, dan padukan dengan gambar-gambar animasi. Film ini kemudian dicatat, seperti dikutip RottenTomatoes, sebagai sebuah landmark di bidang animasi yang pengaruhnya terus terasa hingga kini. Lewat tokoh Miki Tikus yang dikenal manusia sejagad, lewat film ini Disney meneguhkan posisinya tak hanya sebagai sineas, tapi juga seniman.
6. Beauty and the Beast, 1991
Beauty and the Beast adalah film animasi pertama yang bertengger dengan terhormat di deretan nominasi Film Terbaik Academy Awards. Sebelumnya, film ini menjadi film animasi pertama yang meraih gelar Film Terbaik (Komedi atau Musikal) di ajang Golden Globes. Maka, kualitas film ini tak perlu lagi dipertanyakan. Beauty and the Beast segera jadi klasik sejajar dengan film-film klasik cerita putri Disney lain seperti Snow White, Cinderella, maupun Sleeping Beauty.
Tentu, bukan Disney pencipta dongeng si cantik dan si buruk rupaini, melainkan dongeng Prancis karya Jeanne-Marie Leprince de Baumont. Namun, sentuhan tangan dingin animator Disney mebuat kisah ini lebih dekat bagi warga dunia. Tidak seperti karakter putri-putrinya terdahulu yang berpangku tangan menanti pangeran tampan, Belle adalah seorang perempuan mandiri (banyak yang menganggapnya karakter feminis). Belle rela berkorban menggantikan ayahnya yang disandera makhluk buas. Belle juga kemudian juga memenangkan hati sang makhluk buas itu dan mengubahnya jadi pangeran tampan.
7. Pinocchio, 1940
Pinocchio, karya kedua Disney setelah Snow White, diangkat dari novel karya Carlo Collodi tahun 1883, dicatat Time telah memberi plot dasar pengisahan bagi film-film animasi lain sesudahnya. Happy Feet, Kung Fu Panda, atau Tangled berutang pada Pinocchio dari segi tema cerita.
Kisahnya adalah sebuah cerita klasik coming-of-age film, kisah pencarian jati diri. Kita mengikuti petualangan akbar Pinocchio, sesosok boneka kayu ingin menjadi manusia: ia bertemu jangkrik, diculik, dimakan ikan paus, hingga bertemu peri baik hati. O ya, siapa yang tak ingat pesan moral film ini untuk jangan berbohong (kalau berbohong, hidungmu akan memanjang), atau anak-anak nakal yang bernasib jadi keledai. Hebatnya Disney, segala pesan moral itu tak terasa menggurui. Kita terhibur oleh petualangan Pinocchio dan tidak bosan melihatnya berkali-kali lagi.