Jumat, 23 Maret 2012

BUKU HARIAN SANG SINDER TEBU


Usianya kini telah hampir 55 Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso, sang mandor yang juga memiliki pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca. Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun menyebabkan hatinya yang semula ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan
kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu, kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati, hanya terlihat dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu Rr. Caroline Widiati dan Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik yang akan membahayaka perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari temat-tempat kasino itu, berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut. Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah
kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya, bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang terhempas dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi Wedana Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin kegetiran itu berlangsung, meski telah lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu, kursi goyang dari kayu jatipun telah berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya. Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga paru-parunya tersa sakit untuk bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih longgar lagi. Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.

Penulis : Ir. Bambang Sukmadji Guru MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak JATENG

◄ Newer Post Older Post ►