jendela deretan bangku sebelah kiri. Diletakkannya tas dan Bible-nya, lalu perlahan
berlutut. Amazing Grace mencapai nada-nada akhir, Kania memejamkan mata. Ia serasa dibuai angin surga dan terbang ke negeri Antah Berantah. Negeri Antah Berantah? Negeri dengan seribu macam bunga dan sejuta warna kembang? Dengan padang luas berwarna hijau dan bungabunga kecil berwarna putih menyembul di antara dedaunannya? Ah, Kania menghela napas diamdiam. Sebenarnya, tidak patut mengeluh pada
saat-saat begini. Tapi, tanpa dikehendaki, tiba-tiba saja, sebilah tombak dengan ujung sangat tajam menghunjam ulu hatinya. Perlahan sekali, dielusnya dadanya dan menunduk dengan mata terpejam pasrah. Semenit kemudian, ia membuka matanya dan meraba 'Madah Bhakti' di pangkuannya, membuka halaman doa selembar demi selembar sepenuh perasaan. "Bapa di Surga yang Mahapengasih...," diejanya doa yang entah sudah berapa kali didengungkannya sepenuh hati. "Dalam kebijaksanaan-Mu yang tak terselami, Engkau telah menetapkan seorang pemuda menjadi jodohku. Ia akan mencari aku supaya menjadi teman hidupnya. Ialah yang akan menjadi pelindungku serta ayah bagi anak-anakku.
Ya, Bapa, Engkau tahu tempat tinggal pemuda itu. Jagalah ia dalam rahmat-Mu, supaya ia selalu hidup suci dan tahu mengendalikan diri. Semoga ia selalu berlaku sopan, ramah dan satria. Jauhkanlah ia dari segala bahaya dan teguhkanlah ia dalam kebaikan. Jagalah dan lindungilah aku juga, supaya ia menemukan aku dalam keadaan yang pantas baginya. Garaplah 'ladang hati' kami, dan taburilah dengan benihbenih sabda-Mu, supaya selama masa penantian ini hati kami disucikan dan kehendak kami dikokohkan.
Ya, Bapa, kami berharap, kalau tiba saatnya nanti, kami berdua bersama-sama membangun
rumah tangga yang memancarkan kasih sayang kebapaan-Mu kepada semua orang di sekitar
kami. Amin." Amin, Kania berbisik panjang lagi dan menegakkan kepalanya. Di tengah-tengah pilar di depan altar, Bunda Maria dengan gaun biru langitnya tersenyum lembut. Kania merasakan betul, ada angin damai bertiup mengembusi serambi jantungnya. Saat-saat begini, selalu, ia merasa yakin Bapa Surgawi dan Bunda Terkasih itu mendengarkan dengung doanya dan pasti akan mengabulkan pinta hatinya. Dengan gerakan tanpa menarik perhatian orang di sekitarnya, Kania memalingkan wajahnya dan memandang ke sebelah kanannya. Beberapa orang tampak berseliweran mencari tempat duduk. Para ibu-ibu biasanya lebih senang duduk di barisan belakang. Kania tersenyum samar dan secara refleks menoleh ke bangku belakang. Setelah menoleh, kembali rasa nyeri itu menyerang jantungnya. Ia sudah tahu pasti. Daniel tidak akan berada di antara jemaat di belakang sana. Tapi, entahlah, dalam ilusinya yang menembus langit lapis tujuh, ia selalu berharap Daniel tiba-tiba muncul dengan mata coklatnya. Atau ilusi yang lebih gila lagi, ia membayangkan Daniel akan berjalan dan duduk di sebelahnya, setelah
terlebih dahulu memamerkan senyum menawannya. Uhhgg, Kania menunduk dan membatin sedih. Di manakah Daniel saat-saat ini? Sedang berbuat apa cowok keren dan gagah itu sekarang? Adakah senar-senar di hatinya mendatangkan irama yang sama dengan yang mengalun di hatinya? Oh, Kania menggigit bibir bawahnya dan menunduk lebih dalam
lagi. Jika kasih dan kerinduan ini adalah karunia dari Atas, adakah Dia menghadirkan kasih dan rindu yang serupa di bilik hati lainnya? Lonceng berdentang nyaring, Kania mencoba mengusir bayangan yang menari-nari di pupil matanya dengan memperbaiki duduknya. Hari ini kotbah akan dibawakan oleh Pastor Simon Xaverius, yang selalu menarik serta kocak. Kania tidak mau pulang dengan hati hampa nantinya. Dicobanya berpikir dan meyakinkan diri, bahwa Sang Gembala Baik itu mendengarkan seruan domba Nya.
*** Angin di penghujung musim kemarau bertiup kering. Lina menaikkan rambutnya dan mengipas kuduknya dengan majalah yang disambarnya dari atas meja. Diliriknya Kania yang sedang mengembara ke negeri di mana bidadari tinggal. Heh, Lina mengangkat bahunya. Persoalannya sebenarnya mudah dan sepele sekali, pikirnya gemas. Namun masalahnya, yang mengalaminya adalah Kania. Dan, anak itu memilih terbelenggu daripada melepaskan diri darinya. "Yesus memang bilang, kalau kita meminta, kita akan
mendapat," Lina menepuk lengan Kania untuk membawanya kembali ke alam manusia."Tapi...." "Tapi Ia juga bilang...." Lina cepat-cepat memotong sambil menatap sahabatnya setengah iba setengah marah. "Ia juga bilang kita harus mencari dan mengetuk pintu. Begitu kan, Kania?" Kania menatap dengan matanya yang bertelaga. "Tuhan kan, maha segala maha, Lin," Kania membantah dengan suara patah. "Dia akan mengabulkan apa saja yang kita doakan, bukan?" "Yak!" Lina menegaskan. "Tapi di samping berdoa, kita dituntut untuk berusaha juga, kan? Ora et labora. Lalu Ia akan menyertai usaha kita. Begitu logikanya yang sehat, kan?" "Yaahh...." Kania mendesah dan menunduk. Disimpannya seulas senyum samar-samar di balik bibirnya. "Saya tidak berani berusaha, Lin," katanya dengan suara setengah putus asa. "Saya suka membayangkan, Daniel akan menolak saya. Atau menertawakan saya. Atau menceritakan ke teman-teman bahwa ada seorang gadis yang tak tahu diri yang mati-matian mencintai dia. Dan... ia tidak pernah mencintai gadis tolol itu." "My, God!" Lina memekik dan mengelus dadanya. "Sintingkah ketua OSIS yang kau cintai setengah mati setengah hidup itu? Atau otaknya sedikit miring? Atau ia abnormal, sehingga menganggap jatuh cinta itu sesuatu yang aneh, yang perlu ditertawakan dan disebarkan seantero jagat lewat Seputar Indonesia?" Kania hampir tertawa mendengar kalimat-kalimat Lina yang bagai air bah itu. Ia mengatupkan bibirnya, menyembunyikan kegelian hatinya. Sejenak kemudian ia berpikir, mungkin Lina benar. Mungkin ia tertawa terbawa oleh perasaan takutnya sendiri. Jika ia membungkus perasaan cintanya rapat-rapat dengan selimut ketidak-acuhan dan kebisuan, bagaimana mungkin Daniel akan menemukan kunci menuju pintu hatinya? Berharap angin yang bertiup berbisik ke telinga Daniel terlebih dahulu mendekatinya?
Ah, ia memang berharap, Daniel akan memulai mengambil langkah pertama. Rasanya ia sudah capek menunggu keajaiban itu datang. Rasanya ia sudah lelah menerka-nerka, ada apa sebenarnya di balik mata teduh berwarna coklat milik Daniel yang menghunjam ke sanubarinya ketika mereka bertabrakan pandang. Apakah riak-riak pengharapan yang sama bersenandung di keping hatinya? "Hei! Sudah ke langit mana khayalmu singgah?" Perlahan dengan enggan, Kania menoleh, dan memandang sepasang mata bulat di depannya dengan pandangan tak bercahaya. "Kalau kamu jadi saya, Lin, apa yang akan kamu perbuat?" tanyanya dengan suara lemah. "Saya?!" Lina melotot dan menunjuk dadanya dengan gagah. Didongakkannya dagunya. "Tentu saja saya akan melihat peluang-peluangsaya, apa mungkin dia juga menyimpan feeling yang sama dengan saya. Tidak ada hal yang mustahil, kan? Siapa tahu, Daniel juga diam-diam mempunyai perasaan yang sama. Dan ia juga tipe pemuda yang introvert, sehingga menyimpan
perasaan itu rapat-rapat di hatinya." "Aahh," Kania tertawa sumbang. "Hidup bukan dongeng, Lin. Hidup juga bukan cerpen-cerpen manis seperti yang sering kita baca. Seorang cowok naksir seorang cewek, seorang gadis jatuh cinta pada seorang pemuda, dan kemudian happy." "Lho, siapa tahu, kan?" Lina melotot Lagi. "Seringkali yang membatasi kemungkinankemungkinan besar dalam hidup ini adalah diri kita sendiri. Kamu selalu mengatakan 'tidak mungkin-tidak mungkin', sehingga kamu tidak melihat peluang-peluang lagi. Padahal, mungkin selama ini Daniel juga mau mendekati kamu, tapi dia mengurungkan niatnya untuk mendekati kamu, karena kamu selalu berubah diam dan gagu kala ada dia di sekitar kamu. Mungkin malah ia berpikir kamu membencinya, atau tidak suka berteman dengannya. Iya, kan?"Kania menunduk jengah. Apa yang dikatakan Lina memang benar adanya. Ia selalu mendadak jadi orang yang aneh kalau ada Daniel. Selalu sibuk mencatat ini dan itu. Baru setelah bayangan Daniel berlalu, didapatinya bahwa kertas di atas mejanya hanya berupa coretan-coretan tanpa bentuk atau inisial cowok terkasih itu. Melihat Kania terdiam, Lina mendapat angin. "Kalau senyummu selalu mendadak tenggelam di dasar bumi setiap bayangan Daniel muncul, lama-lama ia bisa mengira kamu muak atau membenci dia. Laki-laki juga punya prasangka dan perasaan, kan? Apalagi orang yang sedang jatuh cinta selalu perasa." "Kamu tahu sendiri saya tidak sebel atau membenci dia," bela Kania sedikit sengit. "Kamu toh tahu, saya selalu mendadak salah tingkah kalau ada dia. Sebelum dia datang, biasanya saya
sudah menyiapkan senyum atau sebaris kalimat. Tapi begitu ia datang, saya selalu lupa akan senyum yang sudah saya siapkan maupun kalimat yang sudah saya rangkai. Seharusnya, sebagai cowok ia bisa menerka-nerka ada apa di balik sikap saya. Seharusnya ia mengerti, hanya orang yang jatuh cinta yang bisa bertingkah aneh begitu." "Kania...." Lina mengeluh setengah putus asa. "Kalau kamu mengharap Daniel menjelma menjadi malaikat yang bisa menembus dan melihat seluruh isi jantungmu, itu mimpi paling konyol sepanjang segala abad." Kania menatap Lina, sambil mencernakan kata-katanya. Lalu, perlahan, ia tersenyum samar, kemudian menghela napas diam-diam. Terkadang, ia juga sangat membenci dirinya sendiri. Kalau saja ia berani memastikan arti pandang mata dan senyum teduh Daniel. Kalau saja ia berani mengajuk hati pemuda gagah dengan bahu kokoh itu. Kalau saja ia bertekad merealisir impiannya untuk melangkah bergandeng tangan dengan cowok gantengnya itu. Kalau saja ia berani memperjuangkan hasrat hatinya. Kalau saja.... Tapi, ia hanya membisu. Hanya pada Bible dengan ayat penghibur, pada hening doa tengah malam, ia bercerita tentang mimpi birunya.
*** Pernah, Lina merasa bosan dengan cerita yang itu-itu saja dari Kania. Tentang mimpi birunya. Tentang hasrat jingganya. Tentang angannya merajut masa depan bersama Daniel. Tentang kegilaannya membeli baju dan segala macam dengan warna biru dan hijau, warna favorit Daniel. Tentang puisi-puisi cintanya yang pada bagian bawah semuanya bertuliskan pour: Daniel. Segalanya tentang Daniel Putra Kurniawan. Lina mulai sebel, dan bertekad untuk mendatangi Daniel untuk menceritakan segalanya. Ia selalu berprinsip, lebih baik sakit sesaat daripada terbelenggu dalam waktu tak bertepi. Tapi apa reaksi Kania? Lina mendengus jengkel mengingatnya. Gadis tolol itu memohon, sambil menangis, agar Lina tidak melaksanakan ide yang menurutnya sinting itu. Tersendak-sendat, ia membeberkan semua pesimismenya. Bagaimana kalau Daniel
tidak mencintai saya? Bagaimana kalau Daniel tidak menyukai saya? Bagaimana kalau saya hanya salah mengartikan sikap baiknya, pandang mata teduh dan senyum manisnya? Bagaimana kalau sesudah Daniel tahu saya mencintainya diam-diam, ia malah membenci saya? Bagaimana...? Bagaimana...? Dan sepuluh bagaimana yang semuanya berbau skeptis. Ujungujungnya, ketika Lina membulatkan tekad untuk mengupas semua pertanyaan bagaimana, yang menggalaukan hati itu langsung dari Daniel, Kania mengancam akan memutuskan tali persahabatan mereka. Mengapa di dunia ini ada orang yang begitu tolol? pikir Lina tidak mengerti. Menciptakan beribu tanda tanya tanpa mau mencari jawab yang setepatnya. Untuk apa melangkah dalam kegelapan kalau ada pelita yang menjadi penerang jalan? Apa enaknya hidup dalam lingkaran tanda tanya?Angin musim kemarau merontokkan daun-daun kering dari pohon jambu air, jatuh di atas tanah
berkumpul dengan bunga-bunganya yang berwarna putih. Lina menoleh dan mendapati Kania
tengah melamun lagi. Lina mengangkat bahunya. Mungkin Kania sedang mengangankan tiba-tiba Daniel datang dan menjemputnya pulang. Atau dering telepon dari Daniel yang bertanya dengan cemas, 'Lina, apa Kania ada di rumahmu? Ada? Oh, syukurlah. Bilang sama Kania lima menit lagi saya ke sana menjemputnya'. Atau lebih gila dan lebih sinting lagi, mungkin Kania membayangkan, kalau ia sampai di rumah nanti, Daniel menunggunya dengan pijar-pijar kerinduan. Lina menghela napas dan merasakan iba yang amat sangat. Gadis rapuh yang tolol dan bodoh, pikirnya sengit. "Janganlah terus hidup dalam dunia angan-angan, Kania Sayang," ditepuknya pipi Kania untuk membangunkan gadis itu dari mimpi siangnya. "Lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak mencoba sema sekali. Daripada terkatung-katung seperti sekarang ini, kan? Taruhlah Daniel hanya menganggap kamu kawan biasa, tidak mempunyai arti apa-apa di balik pandang matanya yang teduh dan sikapnya yang terkadang aneh itu. Taruhlah kalau Daniel menolak kamu mentahmentah, itu reaksi yang paling buruk dan tak beradab. Tapi, setidaknya, kamu sudah tahu cinta kamu sia-sia dan tidak perlu diperpanjang umurnya, kan? Bayangkan bagaimana kalausebaliknya? Kalau ternyata Daniel punya perasaan yang sama, tapi juga diam-diam sepert kamu? Tidak semua cowok bisa mengungkapkan perasaannya secara lugas, Kania. Cerita yang amat tragis kalau itu benar adanya, kan? Bahwa dua orang yang saling mencintai harus patah hati hanya karena salah paham dan tidak saling terbuka." Kania tertawa tanpa suara. Dikerjapkannya kelopak matanya dan menatap angkasa. Betulkah hidup bisa sama seperti cerita-cerita romantis dalam novel-novel dan cerpen-cerpen? Tentang dua buah hati yang sama-sama mengandung magnet, tapi terbungkus oleh tirai malu dan gengsi, lalu akhirnya berakhir bahagia sampai selama-lamanya? "Dunia tidak akan kiamat kalaupun ia menolak cintamu, Kania," Lina mengelus pipi tirus sahabatnya. Ia tertawa untuk membangkitkan keberanian Kania. "Setidaknya, masih ada Markus yang menunggumu sungguh-sungguh. Kamu mau mencoba kan, Kania? Janji?"
*** Kania sedang menyibukkan diri membaca hasil rapat OSIS bulan lalu berupa laporan mengenai pertandingan-pertandingan yang diusulkan dalam Class Meeting ketika tiba-tiba saja ia merasa dadanya berdebar kencang. Cukup beranikah ia melaksanakan rencananya hari ini? Kemarin malam, dalam kotbah tentang 'Nabi Nuh', Pastor Suwandoko menekankan, bahwa dalam iman segala pengharapan itu penggenapannya sempurna. Sepulang dari gereja kemarin, Kania sudah berdoa kalang kabut, agar Yesus menyertai ia hari ini untuk memberikan seulas senyum pada Daniel. Senin minggu pertama, Daniel biasanya datang satu jam sebelum bel berbunyi. OSIS mengadakan rapat, dan sebagai Ketua yang baik, ia harus menanyakan pada Sekretaris OSIS, apakah materi rapat sudah disiapkan dengan baik. Kania sudah mempersiapkannya dengan amat sangat baiknya. Dan kali ini, Kania telah datang lima menit lebih awal dari satu jam sebelum bel. Setidaknya, Kania berencana, ia akan memberikan salam selamat siang dengan seulas senyum kepada Daniel kalau cowok itu masuk ke aula nanti. Mencoba bersikap lincah dan manis. Seperti dulu-dulu, ketika perasaan aneh itu belum singgah dan menetap di hatinya. Kania mencoba menaikkan sudut bibirnya, lalu menatap langit luar jendela. Putih bersih dan biru
jenih. Di sana, di atas segumpal mega-mega, ada bayang seorang pemuda gagah. Dengan
bahunya yang lebar kokoh. Dengan badannya yang tinggi tegap. Dengan rambutnya yang
setengah ikal dan matanya yang berwarna coklat. Dengan sepasang alis hitam. Yang pandai mainbasket, jago aerobik, juara karate tingkat kotamadya, dan selalu mendapat rangking setiap semesteran. Ah, Daniel memang cowok yang sangat menawan.
Salahkah kalau Kania menyimpan kagum itu setengah tahun terakhir ini? Salahkah kalau ia ingin bersaing dengan begitu banyak gadis yang ingin memiliki kunci hati Daniel?
Terdengar suara sepatu kets di koridor depan kelas samping aula. Kania merasa jantungnya berdetak kencang. Ia menegakkan punggungnya, memperbaiki duduknya, dan mencoba mengendurkan urat ketegangan di lehernya. Terdengar gerendel pintu di luar, lalu harum minyak rambut menyentuh ujung hidung. "Halo, Kania!" Terdengar suara Daniel menyapa riang dan ramah. "Kamu cepat betul datangnya hari ini?"m Kami tersenum resah. "Siang, Daniel," ujarnya perlahan sambil memandang wajah cowok gagah yang sedang duduk di kursi di seberangnya. Lalu mendadak saja, Kania merasakan jantungnya ditikam belati tajam. Mendadak ia merasa sangat gelisah. Ia memperbaiki lagi duduknya yang sudah rapi. Bibirnya terbuka, hendak mengalirkan serangkaian kata-kata yang sudah dihafalkannya tadi malam. Ditatapnya wajah dengan rahang bagus itu sekilas, dan pada saat yang bersamaan Daniel mengangkat mukanya dan memandang Kania dengan sepasang mata coklatnya yang teduh."Ada apa, Kania?" Suaranya lembut bertanya.
"Oh, ti-ti...," Kania menelan ludahnya dengan susah payah. "Ti-tidak ada apa-apa Daniel," dustanya gugup sambil menunduk. Sekilas, ia merasa telah menangkap sinyal kecewa di mata Daniel. Tapi, entahlah, ia tidak berani memastikannya. Ia serasa melayang-layang dengan mimpi-mimpi berhamburan.
***EPILOG
"Bapa Pengasih...," batinnya hampir menangis sambil menatap map di atas meja."Bisikkanlah ke telinganya, bahwa saya mencintainya. Dengan amat sangat."
Suasana hening. Kania mengerjapkan matanya yang terasa hangat. Nyanyian rindu
berkumandang di relung hatinya, tanpa ia ketahui, kapan suaranya akan menembus ke udara. ©
BIODATA PENULIS
Dharmawati Tst., lahir di Jakarta pada tahun 1969. Bersama Donatus A. Nugroho - penulis asal Solo, Kurnia Effendi - penulis asal Bandung, Aan
Almaidah Anwar - penulis asal Bogor, ia merupakan salah satu cerpenis paling gemilang di eranya karena kerap memenangi LCCR (Lomba Cipta Cerpen
Remaja) Anita Cemerlang, yang kala itu menjadi barometer kehandalan seorang pengarang remaja. Ia juga termasuk salah satu pengarang yang sering
menelurkan cerpen berbobot dan 'sastra'.