Rabu, 30 Januari 2013

Tradisi Unik, Ritual Manten Kucing untuk Memanggil Hujan


Anda sedang membaca artikel berita tentang Tradisi Unik, Ritual Manten Kucing untuk Memanggil HujanBarangkali banyak orang yang tidak percaya jika hujan bisa didatangkan lewat ritual khusus. Caranya pun cukup unik yakni dengan memandikan sepasang kucing berlainan jenis di sebuah sendang atau coban.

Ada tradisi unik di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat, Kabupaten Tulung*agung. Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni “Man-ten Kucing.”



Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ri*tual yang dipercaya bisa menu*runkan hujan yakni “Manten Ku*cing”. Tetapi jangan membayang*kan jika ritual ini adalah ritual perkawinan kucing. Ritual yang di*percaya ada sejak masa peme*rintahan Belanda ini, hanya me*mandikan dua ekor kucing berla*inan jenis di sendang atau coban, tidak jauh dari desa bernama Co*ban Kram.

Lalu mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih da*lam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pe*ngantin menusia. 

“Karena itulah ri*tual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.

Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki ber*kumis tebal ini, ritual asli Tulung*agung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Be*landa oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim ke-

marau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang ma*yoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual keper*cayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa me*mohon pada sang pencipta.

Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sen*dang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.

Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turun*nya hujan tak bisa menyembu*nyikan rasa riangnya.

“Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus men*ceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.

Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nu*groho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk me*mandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor ku-

cing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai meng*guyur di Desa Pelem dan seki*tarnya. 

“Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.

Mulai Dipercaya

Sejak saat itu, jika musim ke*marau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta ke*pala desa menggelar ritual ter*sebut. Seiring perkembangan bu*daya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran. 

Jika dulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejum*lah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang mema*kai pakaian layaknya orang mau menikah. Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa ku*cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.

Untuk menambah kemeriah*an ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan, sete*lah itu baru rombongan dari para sesepuh desa, dimana mereka juga terdiri dari Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek), yang juga memakai pakaian adat. Kemudian rombongan tersebut, berjalan menuju sendang.

Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat. 

Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan se*gera mengirimkan hujan agar ti*dak terjadi kekeringan. Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Di*harapkan dengan tiban tersebut, hujan akan segera turun. 

“Keleng*kapan upacara adalah kebutuh*an, dan daya tarik tersendiri a-palagi ritual ini telah dimasukkan sebagai ikon kebudayaan Kabu*paten Tulungagung,” tuturnya.

Yang mengherankan meski pada uparara ritual sekarang ini tidak menggunakan kucing Condromowo melainkan kucing kampung biasa, namun selesai ritual hujan tetap turun. 

“Sekarang ini kucing Condromowo sudah tidak ada, karena itulah kami me*makai kucing kampung, tetapi toh hujan tetap turun juga,” ung*kapnya.

Seperti saat menggelar upa*cara di Taman Mini Indonesia In*dah (TMII) Jakarta pada 2005 lalu, kala itu Nugroho Agus menggu*nakan kucing jenis angora. Hasilnya taman mini diguyur hu*jan lebat. “Aneh memang, meski digelar tidak di Tulungagung dan kucingnya buka lokal, hujan tetap turun,” kata Kepala desa yang menjabat sejak 2007 ini bangga. Anda bisa baca berita aslinya di sini
◄ Newer Post Older Post ►