Jumat, 24 Februari 2012

ASC & Global GAP: Bijak budidaya, Pasar Eropa terbuka


ASC & Global GAP: Bijak budidaya, Pasar Eropa terbuka

SUNDAY, FEBRUARY 12, 2012

Tengah disusun standar sertifikasi budidaya udang, prosesnya partisipatif menjembatani kepentingan dua pihak, konsumen dan produsen. Lingkungan dan sosial jadi isu kuat, tuntutan pasar Eropa. 
Catatan hasil survei itu menunjukkan, dari 6 lokasi areal tambak udang yang diobservasi, tak satupun memenuhi standar yang diacu. Aspek legal misalnya. Sekalipun memiliki surat kepemilikan lahan, hampir semua petambak tak memiliki izin kegiatan budidaya, meskipun memenuhi syarat peruntukan wilayah. Pembudidaya juga tidak memiliki dokumen lain yang menunjukkan kepatuhan pada peraturan terkait keamanan pangan, lingkungan, dan lain-lain.
Aspek legal adalah klausul pertama yang disyaratkan dalam standar ASC (Aquaculture Stewardship Council) maupun Global GAP. Dua standar ini digunakan acuan dalam observasi tambak-tambak di 6 lokasi: Lhokseumawe, Lamongan, Banyuwangi, Bulungan, Delta Mahakam dan Bone, selama 2011 lalu. Sebagian besar adalah tambak windu, kecuali Lamongan dan Banyuwangi yang membudidayakan vannamei.
Hasil lain, aspek teknis praktek budidaya misalnya, hampir semua tak memiliki saluran terpisah antara air masuk (inlet) dan air keluar (outlet). Sementara aspek lingkungan, sebagian besar tambak di Indonesia dibuat di lahan pasang surut yang dalam standar, tidak diperkenankan. Belum lagi klausul-klausul tata laksana budidaya, sumber benur, pengelolaan tambak, pengelolaan perairan serta limbah, sampai konservasi mangrove, serta dampak sosial pada masyarakat sekitar. Hasil identifikasinya, jauh dari standar ASC dan Global GAP.
Tiga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) terlibat identifikasi di lokasi-lokasi tersebut. WWF mengumpulkan data terkait praktek budidaya, Wetlands melakukan observasi dampak lingkungan, dan Telapak melakukan kajian dampak sosial-ekonomi. Sebagai penyandang dana survei adalah Oxfam Novib dan IUCN Netherlands.

Tuntutan konsumen dan pembeli
Diterangkan Muhamad Ilman dari Wetlands, standar sertifikasi untuk budidaya banyak dan aplikasinya tergantung tuntutan konsumen, yang termanifestasi melalui permintaan buyer (pembeli/importir) asal negara tersebut. Misal, sertifikasi Global GAP yang menekankan keamanan produk, selama ini disyaratkan beberapa buyer udang asal negara-negara Uni Eropa (UE). “Ia fokus menjamin, pangan yang tersertifikasi aman sampai meja untuk dikonsumsi,” jelas Ilman.
Meski biasanya ditentukan pembeli, ada standar yang dibakukan produsen. Ilman menyebut Indonesia dengan standar CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) alias GAP (Good Aquaculture Practices), semua pembudidaya tanah air diarahkan memenuhi standar ini. Sayangnya, standar ini tidak diakui buyer secara langsung. Kata Ilman, CPIB bagus tapi belum tentu sesuai keinginan konsumen. “Kita bilang sudah ikuti standar, tapi konsumen AS atau Eropa punya standar sendiri,” jabarnya.


Fokus lingkungan dan sosial
Digarisbawahi Ilman, ASC lebih berorientasi ke isu lingkungan dan sosial. Sedikit berbeda dengan Global GAP, ACC, atau lainnya yang lebih menekankan keamanan pangan dan kualitas produk. “Kombinasi ASC dan Global GAP akan saling melengkapi. Global GAP fokus pada kemanan pangan, ASC fokus pada dampak lingkungan,” imbuh Ilman.
Ditegaskan Chandika Yusuf dari WWF, kombinasi ASC dan Global GAP akan menjadikan usaha budidaya memenuhi 3 kaidah falsafah utama food safety (keamanan pangan), biosecurity (aman, sehat dan sejahtera bagi hewan maupun lingkungan) dan eco-friendly (ramah lingkungan). “Plus menekan dampak negatif terhadap tatanan sosial masyarakat sekitar,” tuturnya.
ASC memiliki Global Steering Committee (GSC/dewan pengarah global) terepresentasi beberapa negara. Setiap tahun melakukan pertemuan di berbagai negara, mengundang pembudidaya, pedagang (buyer), industri terkait, akademisi, LSM, serta pemerintah untuk menghimpun masukan sebelum standar ini dibakukan. Diperkirakan Ilman, penyusunan standar ASC rampung tahun ini.


Perlu waktu
Azhar, pemilik tambak 6,5 ha di Lhokseumawe mengakui tidak mudah memenuhi standar ASC & Global GAP. Ketua Kelompok Petani Tambak “Gaku Neuheun” dengan 70 anggota ini mengatakan, tak sedikit pembudidaya yang masih sulit memahami klausul-klausul di dalamnya. Sehingga diperlukan waktu proses.
Sejak 2011 kelompok ini didampingi WWF. Sebelumnya, Azhar mengaku, di 2009 FAO pernah membina kelompoknya. “Jadi petambak sudah kenal dengan larangan pestisida maupun recording,” ujar dia. Hasilnya, penggunaan pestisida di area ini mulai berkurang. Untuk recording (pencatatan – red) ia mengakui masih banyak yang “malas” melakukan.
Projek ASC & Global GAP kali ini, ibarat melanjutkan dan menguatkan yang pernah didapat. Walhasil, kini terbentuk kluster di 5 lokasi dengan keberhasilan 70 – 80 %. Direncanakan, Maret tahun ini akan tebar 1 – 1,5 juta benur serentak dengan luasan tambak 150 ha. “Bersama WWF dalam sosialisasi, telah dilakukan juga tanam mangrove 3.000 batang,” tambahnya. Targetnya, 2 – 3 tahun lagi tidak ada lagi penggunaan pestisida.

Pasar UE
Pasar UE selama ini dikenal “rewel” banyak syarat. Pasalnya, konsumen di belahan benua ini peka akan isu traceability (ketelusuran), lingkungan serta animal welfare (kesejahteraan hewan). Tak heran bila tuntutan sertifikasi ASC & Global GAP bermula dari pasar UE.
Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut Hutagalung membenarkan adanya gagasan pemberlakuan standar ASC. Persyaratan ini diminta pembeli, importir atau grup dari pasar retailnya. Wajib menurut pembeli, bukan wajib menurut negara pengimpor. “Untuk udang, ASC diperkirakan berlaku mulai 2015,” kata Saut.
Indonesia sebagai produsen harus mengikuti bila bertekad menjadi pemasok. Saut berpandangan, sertifikasi ASC & Global GAP penting bagi udang Indonesia agar lebih leluasa memasok dunia, terutama memperluas penetrasi ke pasar UE. Menurut Saut, UE (470 ribu ton/tahun) adalah pasar kedua udang Indonesia setelah AS (550 ribu/tahun), diikuti Jepang (200 ribu ton).
Udang Indonesia dikenal memiliki kualitas premium dalam soal warna, citarasa dan tekstur. Ini diakui Mark Nijhof dari Heiploeg, buyer asal Belanda. Kepada TROBOS Nijhof mengaku dalam setahun menyerap sekitar 4.000 ton udang vannamei hasil budidaya, 60 % diantaranya asal Indonesia
Nijhof mengatakan, selama ini ia mensyaratkan sertifikasi Global GAP untuk budidaya dan eksportir. Untuk eksportir, wajib mengantongi sertifikat keamanan pangan Global Food Safety Initiative (GFSI). “Bila sudah tersertifikasi Global GAP, otomatis keamanan pangan tercakup di dalamnya,” terangnya. Dikatakan Nijhof, udang Indonesia akan semakin kuat bila dilengkapi sertifikat Global GAP, sertifikat organik dan kelak ditambah sertifikat ASC.
Pandangan positif dilontarkan Saut. Mengikuti standar ASC & Global GAP akan memberi dua keuntungan sekaligus bagi Indonesia. Sebagai produsen, pertama produk Indonesia diakui pasar memenuhi standar. “Semacam branding, mempunyai kelas tertentu di pasaran.


Titik rawan 2 tahun pertama
Ilman membuat simulasi. Tambak di Delta Mahakam saat ini memberikan keuntungan sekitar Rp 30 juta per tambak setiap tahunnya. Begitu standar diterapkan, tahun pertama dan kedua keuntungan akan menyusut jadi Rp 25 jutaan. Susut Rp 5 jutaan per tambak untuk investasi perbaikan tanggul dan pintu air, menanam mangrove dll. Tahun ke-tiga dipastikan keuntungan kembali pulih, tahun ke-empat dan ke-lima ada peningkatkan 30 – 40 % dari keuntungan. Simulasi ini berdasarkan hitungan dan pengalaman di tambak-tambak yang sudah membaik, petambak kecil mampu memenuhi persyaratan dalam 2 – 3 tahun.
Maka 2 tahun pertama adalah titik rawan. Tidak mudah bagi petambak kehilangan keuntungan 2 tahun berturut-turut. Dalihnya, buyer mensyaratkan standar ASC petambak rugi. Bukan tidak mungkin petambak enggan meningkatkan standar, memilih beralih buyer lain. “Di fase ini sebaiknya petambak diberi insentif. Tidak adil kerugian dibebankan ke petambak semua,” ia berpandangan. Beban bisa dibagi petambak bersama buyer asal negara tersebut serta buyer lokal (eksportir).
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Februari 2012 (www.trobos.com)
◄ Newer Post Older Post ►