Menakar konsep industrialisasi perikanan
WEDNESDAY, FEBRUARY 8, 2012
Kalau industrialisasi perikanan sudah dipublikasikan, tapi ternyata belum siap secara industri maka produksi perikanan Indonesia akan stagnan.
“Saya akan konsekuen dengan target ini. Tentunya industrialisasi ini tidak selalu untuk yang skala besar. Industri yang skala kecil atau industri rakyat pun tetap menjadi perhatian,” tandas Cicip kepada para wartawan beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, terdapat sekitar 60 ribu pelaku usaha pindang ikan skala kecil yang mengalami kesulitan terkait bahan baku. Padahal spesies ikan di Indonesia itu puluhan ribu tidak seperti negara lain yang jumlah spesiesnya lebih sedikit. “Namun dengan spesies yang begitu banyak membuat tiap spesies volume produksinya menjadi kecil. Ini yang perlu dipikirkan dengan mengelola populasi ikan dan terumbu karang sebagai rumahnya,” jelasnya.
Ketika ditanya terkait kesulitan bahan baku industri pengolahan apakah solusinya impor, Cicip mengatakan importasi dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan baik skala besar maupun skala rumah tangga. Namun, pihaknya akan tetap memperketat pengawasan importasi bahan baku industri pengolahan ikan hingga ke tingkat distribusi untuk melindungi dan menjamin keamanan pasar produksi perikanan dalam negeri. “Peningkatan produksi hasil perikanan yang memiliki nilai jual tinggi dapat tercapai dengan tetap melindungi pasar dalam negeri dari dampak importasi”, kilahnya.
Cicip menekankan, industrialisasi adalah upaya intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing nelayan tradisional, menambah jumlah pelaku industri tradisional yang bisa menjadi pemain industri nasional untuk dapat bersaing di pasar internasional. “Dengan industrialisasi, nelayan adalah subjek bukan objek. Nelayan yang sejahtera adalah input dari suatu proses industrialisasi yang berdaya saing tinggi,” tegasnya.
Stakeholder mendukung
Meski belum ada pemaparan khusus seperti apa konsep industrialisasi perikanan ini, parastakeholder(pemangku kepentingan)sektor kelautan dan perikanan memiliki pendapat yang beragam terkait program yang diwacanakan olehMen-KP anyar ini. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Catfish, Soen’an H Poernomo, ide industrialisasi perikanan tepat karena dibeberapa daerah banyak produksi ikan khususnyacatfish(ikan lele, patin, dan sejenisnya) tapi penyaluran pemasaran berupa produk segar mengalami kejenuhan. “Jalan keluarnya melabelkan suatu produk olahan catfish sebagai nilai tambah,” ujar Soen’an.
Ia menambahkan,dengan industrialisasi daerah non sentra bisa menjadi daerah sentra produk catfish. Pasalnya, terdapat daerah yang produksi, pemasaran dan konsumsicatfish belum berkembang pesat sementara minat dan selera masyarakat akan catfishada.
Pendapat senada diungkapkan Ketua SCI (Shrimp Club Indonesia) Banyuwangi, Hardi Pitoyo, Ia berpendapatmemang harus ada upaya ke arah industrialisasi perikanan tapi harus dengan konsep yang jelas. “Industrialisasi perikanan yang berbasis kerakyatan, sumber daya alam dan teknologi dengan tetap memperhatikan pembudidaya,” tegas Hardi.
Sedangkan Ketua Umum AP5I (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia), Thomas Darmawan menyatakan, sektor perikanan dan kelautan Indonesia memang harus mengarah ke industrialisasi. “Kalau belajar dari China dan Thailand, ekspor produk perikanan dan kelautan sangat tinggi. Impornya pun sangat tinggi tapi ada nilai tambah di dalam negeri melalui industri pengolahan yang menciptakan tenaga kerja,” paparnya.
Namun di Indonesia, lanjut Thomas, kepastian hukum untuk impor atau tidak imporpun masih susah. Padahal impor hanya sebagian kecil dan jika terpaksa karena bahan baku tidak ada. “Kalau produksi perikanan di dalam negeri tidak bisa naik buka saja impor tapi dengan syarat tidak boleh sembarangan, untuk nilai tambah dan industri pengolahan di daerah tertentu,” sarannya.
Stakeholderperikanan mewanti-wanti agar program industrialisasi perikanan ini tidak untuk pelaku usaha skala besar saja tapi skala kecil dan menengah pun tetap diperhatikan. “Industri kecil harus banyak yang bisa bertumbuh dan jangan diabaikan. Yang kecil itu juga bisa berkembang menjadi besar. Bisa menjadi plasma atau berkembang sendiri,” saran Soen’an.
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)
Ganti pemimpin ganti juga kebijakan, sudah biasa di pemerintahan Indonesia. Kondisi ini mulai tampak di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai nahkoda baru, Menteri Kelautan dan Perikanan(Men-KP), Sharif Cicip Sutardjo coba melakukan gebrakan dengan memfokuskan pengembangan industrialisasi perikanan.
Menurut Men-KP, yang dimaksud indutrialisasi bukan sekadar pembangunan dan pengembangan industri pengolahan ikan, tapi juga peningkatan skala usaha perikanan tangkap, budidaya, dan aspek pendukung kelautan dan perikanan lainnya. Pria yang akrab disapa Cicip ini berpendapat industrialisasi perikanan menjadi penting karena tanpa itu nilai tambah hasil perikanan menjadi rendah.“Saya akan konsekuen dengan target ini. Tentunya industrialisasi ini tidak selalu untuk yang skala besar. Industri yang skala kecil atau industri rakyat pun tetap menjadi perhatian,” tandas Cicip kepada para wartawan beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, terdapat sekitar 60 ribu pelaku usaha pindang ikan skala kecil yang mengalami kesulitan terkait bahan baku. Padahal spesies ikan di Indonesia itu puluhan ribu tidak seperti negara lain yang jumlah spesiesnya lebih sedikit. “Namun dengan spesies yang begitu banyak membuat tiap spesies volume produksinya menjadi kecil. Ini yang perlu dipikirkan dengan mengelola populasi ikan dan terumbu karang sebagai rumahnya,” jelasnya.
Ketika ditanya terkait kesulitan bahan baku industri pengolahan apakah solusinya impor, Cicip mengatakan importasi dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan baik skala besar maupun skala rumah tangga. Namun, pihaknya akan tetap memperketat pengawasan importasi bahan baku industri pengolahan ikan hingga ke tingkat distribusi untuk melindungi dan menjamin keamanan pasar produksi perikanan dalam negeri. “Peningkatan produksi hasil perikanan yang memiliki nilai jual tinggi dapat tercapai dengan tetap melindungi pasar dalam negeri dari dampak importasi”, kilahnya.
Cicip menekankan, industrialisasi adalah upaya intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing nelayan tradisional, menambah jumlah pelaku industri tradisional yang bisa menjadi pemain industri nasional untuk dapat bersaing di pasar internasional. “Dengan industrialisasi, nelayan adalah subjek bukan objek. Nelayan yang sejahtera adalah input dari suatu proses industrialisasi yang berdaya saing tinggi,” tegasnya.
Stakeholder mendukung
Meski belum ada pemaparan khusus seperti apa konsep industrialisasi perikanan ini, parastakeholder(pemangku kepentingan)sektor kelautan dan perikanan memiliki pendapat yang beragam terkait program yang diwacanakan olehMen-KP anyar ini. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Catfish, Soen’an H Poernomo, ide industrialisasi perikanan tepat karena dibeberapa daerah banyak produksi ikan khususnyacatfish(ikan lele, patin, dan sejenisnya) tapi penyaluran pemasaran berupa produk segar mengalami kejenuhan. “Jalan keluarnya melabelkan suatu produk olahan catfish sebagai nilai tambah,” ujar Soen’an.
Ia menambahkan,dengan industrialisasi daerah non sentra bisa menjadi daerah sentra produk catfish. Pasalnya, terdapat daerah yang produksi, pemasaran dan konsumsicatfish belum berkembang pesat sementara minat dan selera masyarakat akan catfishada.
Pendapat senada diungkapkan Ketua SCI (Shrimp Club Indonesia) Banyuwangi, Hardi Pitoyo, Ia berpendapatmemang harus ada upaya ke arah industrialisasi perikanan tapi harus dengan konsep yang jelas. “Industrialisasi perikanan yang berbasis kerakyatan, sumber daya alam dan teknologi dengan tetap memperhatikan pembudidaya,” tegas Hardi.
Sedangkan Ketua Umum AP5I (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia), Thomas Darmawan menyatakan, sektor perikanan dan kelautan Indonesia memang harus mengarah ke industrialisasi. “Kalau belajar dari China dan Thailand, ekspor produk perikanan dan kelautan sangat tinggi. Impornya pun sangat tinggi tapi ada nilai tambah di dalam negeri melalui industri pengolahan yang menciptakan tenaga kerja,” paparnya.
Namun di Indonesia, lanjut Thomas, kepastian hukum untuk impor atau tidak imporpun masih susah. Padahal impor hanya sebagian kecil dan jika terpaksa karena bahan baku tidak ada. “Kalau produksi perikanan di dalam negeri tidak bisa naik buka saja impor tapi dengan syarat tidak boleh sembarangan, untuk nilai tambah dan industri pengolahan di daerah tertentu,” sarannya.
Stakeholderperikanan mewanti-wanti agar program industrialisasi perikanan ini tidak untuk pelaku usaha skala besar saja tapi skala kecil dan menengah pun tetap diperhatikan. “Industri kecil harus banyak yang bisa bertumbuh dan jangan diabaikan. Yang kecil itu juga bisa berkembang menjadi besar. Bisa menjadi plasma atau berkembang sendiri,” saran Soen’an.
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)