Izin dibatasi, udang minim investasi
TUESDAY, FEBRUARY 7, 2012
BPN batasi penguasaan lahan usaha tambak maksimal 100 ha di Pulau Jawa dan 200 ha di luar Pulau Jawa.
Di Pulau Belitung, Rudyan Kopot berencana mengembangkan budidaya udang terpadu di atas lahan seluas 3.000 ha. Negeri Laskar Pelangi tersebut dipilih oleh pria yang dikenal luas sebagai tokoh perudangan nasional ini karena kualitas perairannya masih bagus dan dekat dengan Singapura, sehingga ekonomis dalam pemasaran produknya.
Apa lacur, rencana tinggal rencana, obsesi Rudyan itu sampai hari ini masih sebatas impian. Hampir 4 tahun berjalan, gagasan tersebut mandek lantaran terganjal aturan izin lokasi usaha dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Padahal, menurut hitungan pria yang pernah memimpin dan membesarkan perusahaan udang vannamei terbesar di Indonesia PT Dipasena Citra Darmaja (Dipasena) ini, bila rencananya itu terwujud, setidaknya 60.000 tenaga kerja akan terserap. Karena, lanjut dia, setiap hektarnya akan membutuhkan 20 tenaga kerja. ”Total penduduk Belitung hanya sekitar 200.000 orang. Artinya bila usaha terpadu ini berjalan, akan ada sepertiga penduduk Belitung yang terserap,” imbuh dia.
Selain itu, ia tegas menekankan, usaha budidaya udang terpadu yang akan dikembangkannya ramah lingkungan, dengan konsep zero waste. Dijelaskan Rudyan, 3 komoditas utama akan dihasilkan dari usahanya, yaitu udang vannamei, rumput laut dan ikan kakap. Udang vannamei dan rumput laut akan diproduksi di bagian dalam lokasi.
Sementara di bagian luar dibudidayakan ikan nila berukuran kecil yang akan memakan sisa-sisa organik dari budidaya udang vannamei. Dan ikan nila ini selanjutnya akan dijadikan pakan ikan kakap. ”Jadi usaha ini ramah lingkungan. Tidak ada limbah yang dibuang ke laut,” ia mengklaim. Apalagi usaha ini akan berbasis inti-plasma.
Menurut Rudyan, ketidaksinkronan aturan izin lokasi BPN dengan beberapa peraturan dan keputusan menteri itu sudah melanggar. ”Ini seolah-olah BPN itu mengatur luasan lahan kementerian teknis. Padahal yang lebih tahu skala ekonomi sebuah usaha itu kankementerian teknis,” komentarnya.
Celakanya, Permen KP nomor 12 tahun 2007 menjadi seolah tidak bergigi karena kewenangan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) ada di tangan BPN. ”Kalau HGU nggakkeluar, kredit bank juga nggak jalan,” tukasnya.
Bupati Belitung Darmansyah Husein membenarkan perihal rencana Rudyan membangun usaha terpadu budidaya udang di kabupaten yang ia pimpin, dan terganjal aturan BPN. Darmansyah juga mengaku, pernah mengkomunikasikan aturan izin lokasi nomor 2 tahun 1999 tersebut dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan peluangnya untuk diubah atau dikaji kembali. Saat itu, kata Darmansyah, ”Mendagri mengatakan kalau urusan BPN ia tak sanggup. Karena BPN itu sudah seperti kerajaan sendiri yang punya channellangsung ke Presiden (SBY).”
Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ketut Sugama pun membenarkan pembagian kewenangan itu. ”Jadi perizinan untuk usaha tambak itu, jelas kita mengacu pada aturan BPN, sebab BPN yang berhak mengatur pertanahan di Indonesia,” katanya. Dan Ketut menilai, aturan BPN yang membatasi luas lahan budidaya itu bukan sebuah masalah. Karena menurut dia, konsepnya berbasis kerakyatan.
Pendapat berbeda dikemukakan Darmansyah yang menilai aturan izin lokasi itu tidak masuk akal. Ia menganggap tidak tepat bila alasan yang disodorkan, ini dilakukan karena trauma zaman dulu banyak konglomerat menguasai lahan tambak yang sangat luas. Jelas-jelas aturan ini diskriminatif. ”Apa bedanya pertambakan dengan pariwisata, pertanian dan perkebunan yang dalam aturan itu dibolehkan penguasaannya sampai puluhan ribu hektar?” tanyanya setengah menuntut.
Ketua Divisi Pakan Akuakultur Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) Denny D Indradjaja juga mempertanyakan alasan sebenarnya dari pembatasan lahan untuk usaha tambak itu. ”Apakah benar untuk ekonomi kerakyatan? Kalau ekonomi kerakyatan, kami pabrik pakan yang menanggung beban karena petambak kecil itu banyak hutang pakan,” keluhnya.
Skala ekonomi
Diminta komentarnya, Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor mengatakan, ”Pertanyaannya apakah aturan itu sudah berdasarkan kajian ilmiah dalam menetapkan luas penguasaan tanah untuk usaha tambak itu? Semua keputusan itu harus ada dasar ilmiahnya agar benar-benar terukur. Jangan berdasar proyek saja, substansi itu lebih penting.”
Selain skala ekonomi, juga perlu diperhitungkan kondisi hidroseanologi, kata Rokhmin. Kaitannya adalah berapa besar kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi limbah usaha tambak itu agar perairan pesisir tak tercemar dan tetap berkelanjutan.
Rudyan berhitung skala ekonomi, minimum lahan yang dibutuhkan untuk budidaya udang terpadu adalah sekitar 6.000 ha. Untuk tambak saja dibutuhkan 3.000 ha. Dari tambak seluas ini akan dihasilkan sekitar 50.000 ton udang per tahun. Selebihnya (3.000 ha) digunakan untuk infrastuktur hatchery, pabrik pakan berkapasitas 5 ton, fasilitas pengolahan, jalan, jalur kanal dan fasilitas lainnya. ”Ini skala ekonomis bagi 1 perusahaan untuk di luar Pulau Jawa yang infrastrukturnya belum memadai. Bila tidak terpadu, biayanya akan tinggi dan menggerogoti keuntungan. Bayangkan bila pakan diambil dari Jawa dan pengolahan udangnya di Jawa, butuh biaya besar untuk transportasi dan bongkar muat,” paparnya.
Apabila di Pulau Jawa hanya diperbolehkan 100 ha, luasan yang bisa dikembangkan untuk budidaya hanya 40 ha. Sementara di luar Pulau Jawa 80 ha. ”Luasan sebesar ininggak menarik bagi investor. Apalagi di luar Pulau Jawa yang terkendala logistik dan infrastruktur,” cecar Rudyan.
Maunya pemberdayaan
Tetapi menurut Ketut, pembatasan penguasaan lahan juga berdampak positif untuk memberdayakan petambak kecil. ”Para petambak ini selanjutnya diintegrasikan dengan perusahaan pengolahan. Ini akan jadi kuat,” tandasnya. Ia menunjuk contoh Thailand, yang mengaplikasikan konsep integrasi berbasis tambak rakyat.
Produksi udang Thailand tinggi disokong petambak-petambak kecil yang dikontrol dalam teknis budidayanya, dan dibangun kesepahaman antara petambak dan perusahaan pengolahan. Karena perusahaan pengolahan menuntut kualitas tertentu, mereka membina para petambak untuk memenuhi kualitas tersebut. Dan melalui regulasi, usaha budidaya dikonsentrasikan di satu kawasan terpadu, serta difasilitasi laboratorium berjalan untuk kontrol penyakit. ”Konsep integrasi berbasis kerakyatan ini yang harus dilakukan di Indonesia,” tuturnya penuh semangat.
Denny cukup sinikal dengan konsep ini. ”Boleh saja Pak Ketut bilang konsep itu bagus dikembangkan. Tapi lihat di lapangan, yang membiayai petambak kecil itu pabrik pakan, bukan perbankan. Istilahnya kami jadi banker. Satu pabrik pakan, uangnya di para petambak itu berkisar Rp 10 miliar. Mereka berhutang. Kalau mereka gagal, ya pabrik pakan yang tanggung. Kami kena imbas paling besar,” sergah dia.
Genjot produksi nasional
Seolah berada di ujung jalan buntu, Rudyan pun menuntut agar aturan BPN itu diubah. ”Berikan kesempatan bagi pengusaha besar untuk masuk,” pintanya. Ia mengamati, sejak dikeluarkannya aturan BPN itu, praktis tak ada investasi besar di perudangan nasional. Investasi yang ada, kata Rudyan, skalanya kecil dengan teknologi yang kurang maju dan kurang berkembang. Sehingga produksi tidak dapat digenjot signifikan.
Padahal, bila pengusaha besar diberi kesempatan, mencapai target produksi udang di 2014 sebagaimana dipatok pemerintah bukan masalah. Bahkan Indonesia bisa feed the world untuk udang. Maksud dia, Indonesia bakal jadi pemasok utama udang dunia. “The world needs shrimp. Sekarang Thailand kena banjir, Vietnam produksinya terganggu karena badai typhoon. Dan 2012 China diperkirakan akan sepenuhnya impor udang. Ini kesempatan bagi Indonesia!” tandasnya.
Rudyan menambahkan pandangannya, pola pengembangan kelapa sawit adalah model yang bisa dicontoh di perudangan. Komposisi kepemilikan usaha kelapa sawit seimbang antara pengusaha besar dan rakyat. ”Dulu kita mengimpor untuk minyak makan. Sebaliknya sekarang kita sudah menjadi pengekspor terbesar untuk minyak sawit. Ini bisa dilakukan di perikanan, khususnya perudangan. Di satu sisi, pengembangan agri-akua inikan butuh teknologi maju. Kebutuhan ini bisa diisi oleh perusahaan atau pengusaha,” ia berargumentasi.
Selengkapnya baca majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)
Di Pulau Belitung, Rudyan Kopot berencana mengembangkan budidaya udang terpadu di atas lahan seluas 3.000 ha. Negeri Laskar Pelangi tersebut dipilih oleh pria yang dikenal luas sebagai tokoh perudangan nasional ini karena kualitas perairannya masih bagus dan dekat dengan Singapura, sehingga ekonomis dalam pemasaran produknya.
Apa lacur, rencana tinggal rencana, obsesi Rudyan itu sampai hari ini masih sebatas impian. Hampir 4 tahun berjalan, gagasan tersebut mandek lantaran terganjal aturan izin lokasi usaha dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Padahal, menurut hitungan pria yang pernah memimpin dan membesarkan perusahaan udang vannamei terbesar di Indonesia PT Dipasena Citra Darmaja (Dipasena) ini, bila rencananya itu terwujud, setidaknya 60.000 tenaga kerja akan terserap. Karena, lanjut dia, setiap hektarnya akan membutuhkan 20 tenaga kerja. ”Total penduduk Belitung hanya sekitar 200.000 orang. Artinya bila usaha terpadu ini berjalan, akan ada sepertiga penduduk Belitung yang terserap,” imbuh dia.
Selain itu, ia tegas menekankan, usaha budidaya udang terpadu yang akan dikembangkannya ramah lingkungan, dengan konsep zero waste. Dijelaskan Rudyan, 3 komoditas utama akan dihasilkan dari usahanya, yaitu udang vannamei, rumput laut dan ikan kakap. Udang vannamei dan rumput laut akan diproduksi di bagian dalam lokasi.
Sementara di bagian luar dibudidayakan ikan nila berukuran kecil yang akan memakan sisa-sisa organik dari budidaya udang vannamei. Dan ikan nila ini selanjutnya akan dijadikan pakan ikan kakap. ”Jadi usaha ini ramah lingkungan. Tidak ada limbah yang dibuang ke laut,” ia mengklaim. Apalagi usaha ini akan berbasis inti-plasma.
Menurut Rudyan, ketidaksinkronan aturan izin lokasi BPN dengan beberapa peraturan dan keputusan menteri itu sudah melanggar. ”Ini seolah-olah BPN itu mengatur luasan lahan kementerian teknis. Padahal yang lebih tahu skala ekonomi sebuah usaha itu kankementerian teknis,” komentarnya.
Celakanya, Permen KP nomor 12 tahun 2007 menjadi seolah tidak bergigi karena kewenangan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) ada di tangan BPN. ”Kalau HGU nggakkeluar, kredit bank juga nggak jalan,” tukasnya.
Bupati Belitung Darmansyah Husein membenarkan perihal rencana Rudyan membangun usaha terpadu budidaya udang di kabupaten yang ia pimpin, dan terganjal aturan BPN. Darmansyah juga mengaku, pernah mengkomunikasikan aturan izin lokasi nomor 2 tahun 1999 tersebut dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan peluangnya untuk diubah atau dikaji kembali. Saat itu, kata Darmansyah, ”Mendagri mengatakan kalau urusan BPN ia tak sanggup. Karena BPN itu sudah seperti kerajaan sendiri yang punya channellangsung ke Presiden (SBY).”
Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ketut Sugama pun membenarkan pembagian kewenangan itu. ”Jadi perizinan untuk usaha tambak itu, jelas kita mengacu pada aturan BPN, sebab BPN yang berhak mengatur pertanahan di Indonesia,” katanya. Dan Ketut menilai, aturan BPN yang membatasi luas lahan budidaya itu bukan sebuah masalah. Karena menurut dia, konsepnya berbasis kerakyatan.
Pendapat berbeda dikemukakan Darmansyah yang menilai aturan izin lokasi itu tidak masuk akal. Ia menganggap tidak tepat bila alasan yang disodorkan, ini dilakukan karena trauma zaman dulu banyak konglomerat menguasai lahan tambak yang sangat luas. Jelas-jelas aturan ini diskriminatif. ”Apa bedanya pertambakan dengan pariwisata, pertanian dan perkebunan yang dalam aturan itu dibolehkan penguasaannya sampai puluhan ribu hektar?” tanyanya setengah menuntut.
Ketua Divisi Pakan Akuakultur Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) Denny D Indradjaja juga mempertanyakan alasan sebenarnya dari pembatasan lahan untuk usaha tambak itu. ”Apakah benar untuk ekonomi kerakyatan? Kalau ekonomi kerakyatan, kami pabrik pakan yang menanggung beban karena petambak kecil itu banyak hutang pakan,” keluhnya.
Skala ekonomi
Diminta komentarnya, Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor mengatakan, ”Pertanyaannya apakah aturan itu sudah berdasarkan kajian ilmiah dalam menetapkan luas penguasaan tanah untuk usaha tambak itu? Semua keputusan itu harus ada dasar ilmiahnya agar benar-benar terukur. Jangan berdasar proyek saja, substansi itu lebih penting.”
Selain skala ekonomi, juga perlu diperhitungkan kondisi hidroseanologi, kata Rokhmin. Kaitannya adalah berapa besar kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi limbah usaha tambak itu agar perairan pesisir tak tercemar dan tetap berkelanjutan.
Rudyan berhitung skala ekonomi, minimum lahan yang dibutuhkan untuk budidaya udang terpadu adalah sekitar 6.000 ha. Untuk tambak saja dibutuhkan 3.000 ha. Dari tambak seluas ini akan dihasilkan sekitar 50.000 ton udang per tahun. Selebihnya (3.000 ha) digunakan untuk infrastuktur hatchery, pabrik pakan berkapasitas 5 ton, fasilitas pengolahan, jalan, jalur kanal dan fasilitas lainnya. ”Ini skala ekonomis bagi 1 perusahaan untuk di luar Pulau Jawa yang infrastrukturnya belum memadai. Bila tidak terpadu, biayanya akan tinggi dan menggerogoti keuntungan. Bayangkan bila pakan diambil dari Jawa dan pengolahan udangnya di Jawa, butuh biaya besar untuk transportasi dan bongkar muat,” paparnya.
Apabila di Pulau Jawa hanya diperbolehkan 100 ha, luasan yang bisa dikembangkan untuk budidaya hanya 40 ha. Sementara di luar Pulau Jawa 80 ha. ”Luasan sebesar ininggak menarik bagi investor. Apalagi di luar Pulau Jawa yang terkendala logistik dan infrastruktur,” cecar Rudyan.
Maunya pemberdayaan
Tetapi menurut Ketut, pembatasan penguasaan lahan juga berdampak positif untuk memberdayakan petambak kecil. ”Para petambak ini selanjutnya diintegrasikan dengan perusahaan pengolahan. Ini akan jadi kuat,” tandasnya. Ia menunjuk contoh Thailand, yang mengaplikasikan konsep integrasi berbasis tambak rakyat.
Produksi udang Thailand tinggi disokong petambak-petambak kecil yang dikontrol dalam teknis budidayanya, dan dibangun kesepahaman antara petambak dan perusahaan pengolahan. Karena perusahaan pengolahan menuntut kualitas tertentu, mereka membina para petambak untuk memenuhi kualitas tersebut. Dan melalui regulasi, usaha budidaya dikonsentrasikan di satu kawasan terpadu, serta difasilitasi laboratorium berjalan untuk kontrol penyakit. ”Konsep integrasi berbasis kerakyatan ini yang harus dilakukan di Indonesia,” tuturnya penuh semangat.
Denny cukup sinikal dengan konsep ini. ”Boleh saja Pak Ketut bilang konsep itu bagus dikembangkan. Tapi lihat di lapangan, yang membiayai petambak kecil itu pabrik pakan, bukan perbankan. Istilahnya kami jadi banker. Satu pabrik pakan, uangnya di para petambak itu berkisar Rp 10 miliar. Mereka berhutang. Kalau mereka gagal, ya pabrik pakan yang tanggung. Kami kena imbas paling besar,” sergah dia.
Genjot produksi nasional
Seolah berada di ujung jalan buntu, Rudyan pun menuntut agar aturan BPN itu diubah. ”Berikan kesempatan bagi pengusaha besar untuk masuk,” pintanya. Ia mengamati, sejak dikeluarkannya aturan BPN itu, praktis tak ada investasi besar di perudangan nasional. Investasi yang ada, kata Rudyan, skalanya kecil dengan teknologi yang kurang maju dan kurang berkembang. Sehingga produksi tidak dapat digenjot signifikan.
Padahal, bila pengusaha besar diberi kesempatan, mencapai target produksi udang di 2014 sebagaimana dipatok pemerintah bukan masalah. Bahkan Indonesia bisa feed the world untuk udang. Maksud dia, Indonesia bakal jadi pemasok utama udang dunia. “The world needs shrimp. Sekarang Thailand kena banjir, Vietnam produksinya terganggu karena badai typhoon. Dan 2012 China diperkirakan akan sepenuhnya impor udang. Ini kesempatan bagi Indonesia!” tandasnya.
Rudyan menambahkan pandangannya, pola pengembangan kelapa sawit adalah model yang bisa dicontoh di perudangan. Komposisi kepemilikan usaha kelapa sawit seimbang antara pengusaha besar dan rakyat. ”Dulu kita mengimpor untuk minyak makan. Sebaliknya sekarang kita sudah menjadi pengekspor terbesar untuk minyak sawit. Ini bisa dilakukan di perikanan, khususnya perudangan. Di satu sisi, pengembangan agri-akua inikan butuh teknologi maju. Kebutuhan ini bisa diisi oleh perusahaan atau pengusaha,” ia berargumentasi.
Selengkapnya baca majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)