Selasa, 07 Februari 2012

Pembenahan citarum harus dengan pendekatan budaya (sumber Jabarprov.go.id)


BANDUNG – Pembenahan sungai Citarum sepantasnya juga harus melibatkan unsur budaya dan adat. Hal I tu dikemukakan Ketua Adat Banten Kidul, Ugis saat diskusi tentang pembenahan Citarum di Bandung beberapa hari lalu yang digelar Forum DAS Citarum.
“Dalam adat kebudayaan Sunda, air atau sungai itu sangat melekat dalam tata kehidupannya dulu. Oleh karena itu masyarakat Sunda dulu tidak akan pernah mencemari air atau sungai, karena sama saja dengan bunuh diri. Hal itu sangat berbeda kondisinya dengan sekarang, orang sudah tidak peduli lagi pada sungai dan air, padahal sangat dibutuhkan” ujar Ugis.
Penerapan larangan membabat hutan di Baduy menurut Ugis adalah salah satu upaya pelestarian hutan dan sungai itu sendiri yang hulunya di hutan. Orang kini sudah tidak peduli lagi pada budaya seperti itu, sehingga tidak heran kalau hutan rusak dan sungainyapun ikut merana.
“Penerapan hutan larangan atau keramat itu sebenarnya kan untuk menjaga mata air sebagai sumber air sungai yang dibutuhkan masyarakat. Coba kita lihat sekarang, dimana orang sudah tidak peduli lagi dengan hutan dan sungainyapun ikut menjadi rusak” katanya.
Oleh karena itu Ugis meminta kepada pemerintah dan masyarakat untuk bisa melakukan penggalian budaya ramah lingkungan  yang sudah dilakukan leluhur Sunda sejak dulu, unuk pelestarian lingkungan.
“Pelestarian lingkungan tidak cukup hanya dengan seminar, diskusi atau Kongres yang sama dengan  ngawangkong teu beres-beres, ulah ukur catur tanpa bukur, pupulur beak ku batur da bongan ngagugu ka nu ngalindur” pungkasnya.
◄ Newer Post Older Post ►